Di Balik Serangan The New York Times Terhadap Falun Gong, Selama Beberapa Dekade Menyenangkan PKT

(Ilustrasi oleh The Epoch Times, Getty Images)


Petr Svab
_______________


Pada saat-saat kritis dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, The New York Times telah membantu kepentingan sebuah faksi kekuasaan di tubuh Partai Komunis Tiongkok yang bertanggung jawab atas kekejaman terhadap para praktisi disiplin spiritual Falun Gong.

Selain melibatkan diri secara tidak etis, surat kabar ini juga telah mendistorsi liputannya tentang Tiongkok dan menyesatkan para pembacanya, seperti yang diungkapkan oleh analisis liputan The New York Times tentang Tiongkok serta wawancara dengan setengah lusin ahli politik dan geopolitik Partai Komunis Tiongkok (PKT).

Dikarenakan adanya pengaruh yang tidak proporsional dari surat kabar tersebut terhadap kebijakan, liputannya yang miring kemungkinan besar telah menyebabkan lenyapnya nyawa dan harta benda yang sulit untuk diukur, demikian yang diutarakan oleh beberapa ahli.

The New York Times selama beberapa dekade memosisikan dirinya sebagai surat kabar global, bersikeras tentang perlunya akses ke Tiongkok, menurut mantan stafnya. Itu berarti meyakinkan rezim komunis bahwa kehadiran koran ini akan menguntungkan mereka.

Koran ini tidak pernah menjelaskan berapa harga yang harus dibayar demi mendapatkan akses ke negara tersebut.

“Selalu ada masalah, jika Anda ingin menjadi surat kabar global, apa yang harus Anda lakukan untuk membuat Tiongkok senang dan tetap berbisnis di sana?” kata Tom Kuntz, mantan editor di surat kabar tersebut kepada The Epoch Times.

“Selalu ada ketegangan, dan saya tahu mereka, seperti banyak perusahaan lainnya, berusaha mempertahankan akses ke Tiongkok.”

Bradley Thayer, mantan peneliti senior di Center for Security Policy, ahli dalam penilaian strategis Tiongkok, dan kontributor untuk The Epoch Times, lebih berbicara secara blak-blakan.

“Jika mereka tidak meliput rezim seperti yang diinginkan rezim, mereka akan dikucilkan. Mereka tidak akan bisa kembali,” katanya kepada The Epoch Times.

“Jadi semua orang ini memiliki kepentingan pribadi, jika Anda mau, untuk mengikuti garis Partai.”

Meliput tentang politik Tiongkok, The New York Times seringkali menganggap ketulusan tindakan dan pernyataan yang mana seharusnya dianggap penuh tipu daya, serta mengabaikan hal-hal penting yang seharusnya diselidiki lebih dalam. Pola ini, menurut beberapa ahli, menunjukkan keselarasan dengan kepentingan kelompok dalam Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang terkait dengan mantan pemimpin Partai, Jiang Zemin.

The New York Times tidak menanggapi daftar pertanyaan yang dikirim melalui email.

Status Istimewa

Koran ini mengembangkan hubungan khusus dengan Jiang pada tahun 2001, ketika publishernya saat itu, Arthur Sulzberger Jr, dan beberapa editor dan reporter diberikan kesempatan langka untuk bertemu dengan sang diktator.

Surat kabar tersebut memuat sebuah wawancara yang menyanjung dengan judul “Dalam Kata-kata Jiang: ‘Saya Berharap Dunia Barat Dapat Memahami Tiongkok dengan Lebih Baik.”

Dalam beberapa hari, PKT membuka blokir akses ke situs web The New York Times di Tiongkok.

Sebulan kemudian, PKT membuka blokir beberapa situs berita Barat lainnya, termasuk situs The Washington Post, Los Angeles Times, San Francisco Chronicle, dan BBC. Situs-situs tersebut diblokir lagi dalam waktu seminggu.

Di sisi lain, New York Times tetap dapat diakses. Para pengguna kemudian melaporkan bahwa konten di situs tersebut diblokir secara selektif, sehingga memberikan kesempatan kepada koran tersebut untuk mendapatkan keuntungan dari akses ke pasar Tiongkok sejauh masih dalam batasan yang dapat diterima oleh PKT.

Wawancara tersebut dilakukan pada saat yang sensitif bagi Jiang. Dia hanya memiliki waktu sedikit lebih dari setahun lagi sebelum dia harus menyerahkan kendali Partai kepada Hu Jintao, memenuhi garis suksesi yang telah ditetapkan oleh Deng Xiaoping, pendahulunya.

Namun segala sesuatunya tidak berjalan dengan baik bagi Jiang. Penganiayaan yang dilakukannya terhadap latihan spiritual Falun Gong, sebuah kampanye politik yang seharusnya dapat mencambuk Partai dan negara agar tunduk di bawah kendalinya, ternyata tidak mencapai tujuannya. Lebih buruk lagi, media asing, termasuk The Wall Street Journal dan The Washington Post, membongkar propaganda anti-Falun Gong dari PKT dan menyoroti laporan penahanan dan penyiksaan yang tidak benar.

New York Times, sebaliknya, tampak paling membantu kampanye Jiang. Pada saat wawancara tahun 2001, surat kabar tersebut memuat beberapa lusin artikel tentang Falun Gong, hampir semuanya menirukan propaganda yang menggambarkan latihan ini sebagai “kultus” atau “sekte”.

Falun Gong, juga dikenal sebagai Falun Dafa, adalah sebuah disiplin spiritual yang terdiri dari latihan yang bergerak lambat dan ajaran yang didasarkan pada prinsip-prinsip sejati-baik-sabar. Falun Gong diperkenalkan ke publik di Tiongkok pada tahun 1992, dan pada akhir dekade ini, diperkirakan 70 juta hingga 100 juta orang melatihnya.
Pada tahun 2001, New York Times telah memuat puluhan artikel yang menirukan propaganda PKT yang menggambarkan Falun Gong sebagai sebuah “sekte” atau “sekte.” (Cuplikan layar melalui The Epoch Times, New York Times)


Pada Januari 2001, media pemerintah PKT mengklaim bahwa beberapa orang yang membakar diri di Lapangan Tiananmen, Beijing adalah praktisi Falun Gong, The Washington Post mengirimkan seorang reporter untuk memeriksa kebenaran berita tersebut. Di sisi lain, The New York Times, segera mengambil pernyataan PKT sebagai fakta.

Jika surat kabar tersebut menggunakan ketajaman investigasi yang banyak dipuji, mereka akan menemukan, seperti yang telah ditemukan oleh media lain, bahwa insiden tersebut diatur untuk dipentaskan. Setelah orang pertama diduga membakar diri di tengah alun-alun, empat sosok polisi entah bagaimana berhasil mendapatkan beberapa alat pemadam kebakaran, bergegas ke tempat kejadian, dan memadamkan api, semuanya berlangsung dalam waktu kurang dari satu menit.

Mengingat jarak yang cukup jauh di alun-alun berukuran besar tersebut, secara fisik tidak mungkin dilakukan-kecuali jika para petugas telah menyiapkan alat pemadam kebakaran dan mengetahui sebelumnya di bagian mana saja di alun-alun tersebut yang akan digunakan pada hari itu, beberapa investigasi independen menyimpulkan dan menunjukkan lusinan keganjilan lainnya.
(Atas) The New York Times mengambil sikap PKT terhadap insiden “bakar diri” di Lapangan Tiananmen tahun 2001. (Bawah) Film dokumenter NTD tentang Kebohongan Bakar Diri di Lapangan Tiananmen dengan judul “False Fire: China’s Tragic New Standard in State Deception” analyzes the incident. (Cuplikan layar melalui The Epoch Times, NTD)


Bahkan tanpa penyelidikan pun, insiden itu tidak masuk akal. Para korban diduga mengikuti kepercayaan bahwa membakar diri mereka hidup-hidup akan membawa mereka ke surga. Namun Falun Gong tidak memiliki kepercayaan semacam itu. Bahkan, literaturnya memperlakukan bunuh diri sebagai membunuh kehidupan, yang mana secara tegas dilarang.

The New York Times bahkan tidak merasa aneh bahwa sejak Falun Gong diperkenalkan kepada publik pada tahun 1992, dari puluhan juta orang yang mempraktikkannya, tidak ada satupun dari mereka yang membakar diri di depan umum hingga hari itu, dan tidak ada yang melakukannya sejak saat itu.

Bahkan setelah investigasi The Washington Post melacak beberapa korban yang diduga kembali ke kampung halaman mereka dan menemukan bahwa tidak ada yang pernah terlihat berlatih Falun Gong, The New York Times terus membeo propaganda PKT.

Jiang rupanya senang dengan The New York Times, menyebutnya selama wawancara tahun 2001 sebagai “surat kabar yang sangat bagus.”

Mendapatkan kebaikan hati Jiang dalam masalah Falun Gong akan menjadi sangat penting, karena ini menyerang jantung prinsip inti politik PKT, demikian beberapa ahli menegaskan.

Partner in Crime

Salah satu dasar dari politik internal PKT adalah memastikan keselamatan diri sendiri, terutama setelah pensiun. Para kader sangat menyadari nasib menyedihkan yang dialami oleh banyak kawan-kawan berpangkat tinggi. Liu Shaoqi, yang pernah menjadi orang nomor dua di bawah pemimpin pertama PKT, Mao Zedong, disingkirkan selama Revolusi Kebudayaan, ditangkap, dan disiksa hingga mati.

Ketika penerus Mao, Deng Xiaoping, mencari seseorang untuk memimpin PKT setelah dirinya pada tahun 1989, dia memilih Jiang Zemin, sekretaris Partai Shanghai yang mendukung pengiriman militer PKT untuk menumpas protes mahasiswa pada tahun 1989.

“Karena Jiang terlibat dalam penindasan terhadap para mahasiswa, Deng bisa mempercayai Jiang sebagai penggantinya. Jiang tidak bisa menggunakan pembantaian tersebut melawan Deng di masa depan tanpa menjerat dirinya sendiri,” jelas Matthew Little, seorang editor senior di The Epoch Times, dalam sebuah analisis tahun 2012.

Penganiayaan terhadap Falun Gong memainkan peran yang sama bagi Jiang, yang mendorong para kroninya menciptakan “modal politik” dengan mendukung kampanye tersebut. Beberapa melakukannya dengan penuh semangat, meningkatkan penganiayaan ke titik kebiadaban yang tak terkatakan, terutama dalam mendorong penyiksaan untuk memaksa para praktisi Falun Gong meninggalkan keyakinan mereka, demikian laporan The Epoch Times sebelumnya.

Para pejabat ini, yang terikat oleh keterlibatan bersama dalam kekejaman tersebut, merupakan inti dari faksi kekuasaan Jiang, yang mana kadang-kadang disebut “geng Shanghai.”

Sebagai imbalan atas dukungan mereka, Jiang membiarkan geng tersebut menyalahgunakan kantor mereka dan menjarah aset milik negara, sehingga menciptakan budaya korupsi di seluruh negeri.

Budaya tersebut memiliki tujuan ganda bagi Jiang. Di satu sisi, memungkinkan dirinya untuk memperoleh pendukung, terutama pada tahun 1990-an, ketika dia berjuang untuk membentuk basis kekuatan di antara kader PKT, yang umumnya melihatnya tidak kompeten, menurut biografi non-official tentang Jiang yang diterbitkan oleh The Epoch Times.

Di sisi lain, dia bisa menyingkirkan rivalnya atas nama “anti-korupsi.”

Tetapi pedang anti-korupsi dapat digunakan dua sisi sekaligus. Seperti yang kemudian ditunjukkan oleh Xi, pedang ini juga dapat diterapkan secara selektif terhadap faksi Jiang.

Ikatan melalui kesalahan dalam penindasan Falun Gong lebih solid. Kejahatan menjadi begitu luas sehingga tidak ada pelakunya yang mau mengambil risiko pengungkapannya, kata beberapa ahli Tiongkok.

Namun, ada sebuah masalah: Pengganti Jiang yang ditunjuk, Hu Jintao, menunjukkan sedikit antusiasme untuk kampanye Falun Gong.

“Jiang mencoba mendorong Hu untuk menganiaya Falun Gong dan ternyata dia cukup enggan,” kata Li Linyi, seorang komentator Tiongkok, ahli politik internal PKT, dan kontributor Epoch Times.

“Hubungan mereka mulai memburuk setelah itu. Jiang merasa semakin khawatir dengan Hu.”
(Kiri) Polisi Tiongkok menangkap dan menangani para pengikut Falun Gong di Lapangan Tiananmen di Beijing pada 14 Februari 2002. (Kanan Atas) Seorang pria menghalangi barisan tank yang menuju ke timur di Jalan Perdamaian Abadi Beijing selama pembantaian Lapangan Tiananmen pada 5 Juni 1989. (Kanan Bawah) Sebuah poster menggambarkan cara menghadapi apa yang disebut “musuh rakyat” selama Revolusi Kebudayaan, di Beijing pada akhir tahun 1966. (Frederic Brown/AFP via Getty Images, Jeff Widener/AP Photo, Jean Vincent/AFP via Getty Images)


Sama seperti PKT di bawah Deng yang memperbaiki beberapa korban Revolusi Kebudayaan, Hu setidaknya secara teoritis dapat memperbaiki Falun Gong, menyalahkan Jiang, dan membersihkan faksinya.

Pada kenyataannya, ini tidak mungkin terjadi, kata Li.

“Ada harga yang sangat mahal untuk memperbaiki Revolusi Kebudayaan,” katanya. “Tidak hanya beberapa pemimpin tertinggi PKT yang disingkirkan, tetapi PKT juga mengakui bahwa mereka telah melakukan kesalahan besar. Hal tersebut tidak baik bagi mereka untuk mempertahankan kekuasaan di Tiongkok dalam jangka panjang. PKT tetap dikritik atas apa yang mereka lakukan selama Revolusi Kebudayaan.”

Para pemimpin PKT hanya akan mundur dari Falun Gong sebagai pilihan terakhir, jika mereka merasa hal tersebut akan menyelamatkan rezim, katanya.

Namun demikian, bukan berarti bahwa Hu dan para pendukungnya tidak dapat menggunakan isu Falun Gong untuk membahayakan Jiang dan faksinya dengan cara lain. Memang, ada bukti yang mereka miliki.

“Semua kebijakan [Jiang] bisa saja terus dilakukan oleh Hu Jintao, kecuali yang satu ini. … Satu-satunya hal yang dikhawatirkan Jiang Zemin adalah kebijakan penganiayaan terhadap Falun Gong,” kata Heng He, seorang komentator veteran Tiongkok dari NTD, sebuah media yang bernaung di bawah The Epoch Times.

Jiang dengan demikian sangat termotivasi untuk membatasi Hu dan menopang citranya sendiri, beberapa ahli menegaskan.

The New York Times terbukti membantu dalam upaya ini.

Menyokong Warisan Seorang Diktator

Pada tahun 2002, The New York Times berada dalam mode pro-Jiang. Menirukan propaganda PKT, koran ini menyatakan bahwa Falun Gong telah berhasil “ditumpas.” Mengutip sumber-sumber PKT, surat kabar tersebut menyatakan bahwa Falun Gong sudah ketinggalan zaman dan hanya memiliki 2 juta praktisi. Lebih jauh lagi, surat kabar tersebut mengklaim bahwa angka yang dikutip oleh sumber Falun Gong, yaitu 100 juta, tidak memiliki dasar.

Akan tetapi, beberapa tahun sebelumnya, sebelum penganiayaan dimulai, beberapa media Barat dan Tiongkok, termasuk The Associated Press dan The New York Times, memberikan angka 70 juta atau 100 juta, umumnya menghubungkannya dengan perkiraan oleh Administrasi Olahraga Negara Tiongkok, yang memiliki wawasan terbaik karena survei besar-besaran terhadap para praktisi Falun Gong yang mereka lakukan pada akhir 1990-an.
The New York Times, mengutip sumber-sumber PKT, melaporkan bahwa Falun Gong hanya memiliki 2 juta pengikut. Akan tetapi, beberapa media Barat dan Tiongkok telah melaporkan angka 70 juta atau 100 juta sebelum penganiayaan terhadap Falun Gong dimulai pada tahun 1999. Pada tahun 1998, TV Shanghai yang dikendalikan pemerintah Tiongkok mempromosikan Falun Gong, dengan menyatakan bahwa “100 juta orang di seluruh dunia sedang mempelajari Falun Dafa.” (Screenshots via The Epoch Times, New York Times, Falun Dafa Information Center)


Sementara itu, koran tersebut tengah membangun citra warisan Jiang sebagai sosok reformis yang ramah serta membawa Tiongkok ke panggung dunia.

“Mr Jiang, dalam istilah Tiongkok, sangat pro-Amerika,” demikian pernyataan dalam sebuah editorial opini tahun 2002 oleh salah satu kontributor tetap koran tersebut.

Meskipun memiliki pelanggaran di masa lalu, Tiongkok dikatakan “menjadi lebih terbuka, toleran, dan dianggap penting.”

Koran tersebut bahkan menerbitkan artikel positif tentang beberapa orang Tiongkok yang melakukan ziarah ke kampung halaman Jiang, yang konon mempelajari bagaimana lingkungan lokal “membesarkan” pemimpin masa depan negara tersebut. Untuk menggali lebih dalam sejarah keluarga Jiang, isi artikel dengan sengaja mengabaikan fakta paling sensitif bagi Jiang—bahwa ayahnya adalah pejabat propaganda dalam pemerintahan boneka yang diplot oleh Jepang selama Perang Dunia II, dan dengan demikian dianggap sebagai pengkhianat di mata orang Tiongkok.

Keputusan Jiang untuk mempertahankan jabatan tertinggi di militer PKT setelah pensiun pada tahun 2002 digambarkan oleh koran tersebut sebagai tanda kekuatan yang agak kontroversial.

Koran tersebut gagal menangkap makna penuh dari ekspansi Jiang atas Komite Tetap Politbiro, badan yang secara resmi memerintah negara, dari tujuh menjadi sembilan anggota. Langkah ini memungkinkannya menambahkan kepala propagandanya, Li Changchun, serta kepala Komisi Urusan Politik dan Hukum, Luo Gan.

Dengan demikian, setidaknya enam anggota komite di bawah Hu adalah loyalis Jiang.

Mengesampingkan Hu

Beberapa hal bisa saja berubah di Tiongkok setelah pensiunnya Jiang. Meskipun Hu sering digambarkan sebagai orang yang berhati-hati dan kaku, hal ini juga membuatnya menjadi orang yang cenderung bersikap patuh. Orang nomor duanya, Perdana Menteri Wen Jiabao, sangat berpikiran terbuka dan berorientasi pada reformasi untuk seorang pejabat PKT. Dia kemungkinan besar mendengarkan Hu mengenai setidaknya beberapa langkah reformasi, menurut Li.

Pada kenyataannya, pemerintahan Hu-Wen terbukti tidak efektif, Li dan para analis lainnya sepakat.

Dalam beberapa tahun pertama, Hu selalu terlihat mengikuti Jiang di acara-acara resmi, sebuah tanda subordinasi yang sangat jelas. Bahkan setelah Jiang pensiun sebagai pemimpin militer pada tahun 2004, upaya reformasi yang dilakukan Hu dan Wen tidak membuahkan hasil.

“Sebagian alasanya adalah mereka menemukan bahwa setiap kali mereka mencoba mereformasi dan melonggarkan beberapa kontrol, kekuasaan yang bersangkutan direbut oleh faksi Jiang. Dan hal ini semakin memberikan keuntungan bagi faksi Jiang dalam pertarungan faksi,” kata Li.

Ketua Partai Shanghai Chen Liangyu, yang diincar oleh Jiang untuk menggantikan Hu pada tahun 2012, sangat yakin dengan dirinya sendiri sehingga dia secara terbuka menolak kebijakan Hu untuk mengurangi pembiayaan negara guna mengekang malinvestasi.

Penyelidikan terhadap Chen atas korupsi pada tahun 2006 secara luas ditafsirkan sebagai pembalasan Hu.

Infografis yang menjelaskan hubungan antara para pemimpin Partai Komunis Tiongkok selama 25 tahun terakhir. (Ilustrasi oleh The Epoch Times, Getty Images)


Tetapi bahkan ketika faksi Jiang berada di pihak yang kalah dalam perebutan kekuasaan internal PKT, The New York Times masih membuat seolah-olah orang-orang Jiang tetap memegang kendali.

Ketika surat kabar tersebut meliput masalah ini, mereka memberikan pujian kepada Wakil Presiden Zeng Qinghong, orang nomor dua di faksi Jiang, yang memelopori penyelidikan tersebut.

Penyelidikan tersebut “direncanakan dan diawasi oleh Zeng,” yang menggunakannya “untuk memaksa para pemimpin provinsi untuk mengindahkan arahan ekonomi Beijing, mengesampingkan para pejabat yang setia kepada mantan pemimpin tertinggi, Jiang Zemin, dan memperkuat tangan Zeng sendiri dan juga tangan tuannya saat ini, Presiden Hu Jintao,” demikian bunyi artikel tersebut, mengandalkan “orang-orang yang mengetahui operasi tersebut.”

Artikel tersebut bahkan mengklaim bahwa Zeng berusaha menyingkirkan dua kroni Jiang di Komite Tetap Politbiro, Huang Ju dan Jia Qinglin.

Penulisnya, Joseph Kahn, membuktikan kekuatan yang signifikan dalam kesalahan peliputan koran tersebut tentang Tiongkok, bahkan ketika ia kemudian pindah untuk mengepalai liputan internasional koran tersebut dan, pada tahun 2022, menjadi editor eksekutifnya.
Eksekutif Editor New York Times Joseph Kahn. (Goh Chai Hin/AFP via Getty Images)


Li mengatakan bahwa dia menduga The New York Times mendapatkan informasinya dari orang-orang dalam faksi Jiang yang “berusaha memutarbalikkan fakta sebagian.”

Menurutnya, masuk akal jika Zeng akan mengejar Chen karena antipati pribadi serta memperkuat posisinya sendiri dalam faksi Jiang.

Namun, menurut Li, tidak terpikirkan bahwa Zeng akan melumpuhkan pengaruh Jiang dengan mendorong Huang dan Jia keluar dari Politbiro.

“Mereka tidak akan pernah melepaskan anggota faksi mereka dari Komite Tetap, kecuali jika mereka kalah dalam pertarungan faksi,” katanya.

Taktik Zeng lebih halus, menurut Zhang Tianliang, profesor sejarah di Fei Tian College dan ahli tentang Tiongkok.

Zeng adalah seorang pria dengan “banyak wajah” yang “suka bertaruh di kedua sisi,” katanya kepada The Epoch Times.

Pada titik ini, di akhir 2006, Huang sudah sangat sakit, dan Jia dijadwalkan untuk pensiun tahun berikutnya. Keduanya sangat terlibat dalam korupsi, kata Li. Jika Hu entah bagaimana berhasil membuat Huang dan Jia diselidiki, Zeng tampaknya memposisikan dirinya untuk mengambil kredit untuk menunjukkan bahwa “faksi Jiang masih memimpin,” kata Li.

Namun, tidak masuk akal bahwa Zeng akan benar-benar mengkonsolidasikan kekuasaan di tangan Hu, karena Zeng terlibat dalam penindasan terhadap Falun Gong dan akan melihat potensi bahaya yang sama pada Hu seperti yang ditakuti oleh Jiang, katanya.

“Artikel tersebut tampaknya memutarbalikkan fakta untuk membuat Zeng dan Jiang terlihat lebih adil dalam pertarungan faksi,” katanya.

Beberapa analis berpendapat bahwa Zeng memang berusaha menjatuhkan beberapa orang dari kelompok Jiang demi keuntungannya sendiri, dan akibatnya membuat musuh di kubunya sendiri. Selama perombakan Politbiro pada tahun 2007, Zeng tidak dimasukkan ke dalam Komite Tetap, menjadi korban dari aturan usia yang sebelumnya ditetapkan Jiang untuk menyingkirkan salah satu saingannya.

The New York Times
menggambarkan pensiunnya Zeng sebagai langkah Hu untuk “memperkuat cengkeramannya pada kekuasaan.” Namun, dampaknya dianggap berlebihan, menurut beberapa analis. Susunan baru Komite Tetap masih didominasi oleh faksi Jiang. Zeng tetap menjadi kekuatan yang tangguh di balik layar, setelah menempatkan orang-orangnya di pos-pos kunci di seluruh birokrasi negara.

Gedung New York Times di Kota New York pada 5 Februari 2024. (Samira Bouaou/The Epoch Times)


Keamanan Negara yang Angkuh

Konsolidasi kekuasaan Hu dengan bantuan Zeng, seperti yang ditunjukkan oleh The New York Times, tak pernah terwujud. Ada lelucon di kalangan orang dalam Beijing bahwa perintah Hu bahkan tidak bisa keluar dari batas-batas Zhongnanhai, sebuah kompleks pemerintahan Partai Komunis Tiongkok di Beijing.

Salah satu alasannya adalah aturan yang dibuat oleh Jiang yang menetapkan bahwa setiap kader di Komite Tetap akan memerintah portofolionya tanpa campur tangan dari yang lain. Karena mayoritas anggota adalah sekutu Jiang, Hu tidak dapat mendorong kebijakannya, meskipun secara teknis memegang jabatan tertinggi, jelas Heng, komentator NTD mandarin.

Aturan tersebut terbukti sangat merusak dengan memberdayakan kepala Komisi Urusan Politik dan Hukum, Luo. Komisi ini didirikan pada tahun 1980-an sebagai sebuah departemen kecil yang mengawasi sistem hukum yang baru lahir di negara tersebut, termasuk pengadilan dan polisi.

Tetapi, di bawah Jiang, Komisi ini tumbuh menjadi badan yang sangat kuat, mengendalikan seluruh aparat keamanan nasional. Sebagian besar alasannya adalah, sekali lagi, kampanye penganiayaan terhadap Falun Gong. Karena Falun Gong tidak pernah secara resmi dilarang di Tiongkok, Jiang membentuk organisasi polisi ekstralegal, yang disebut Kantor 610, untuk melakukan penganiayaan. Dia menempatkan Luo sebagai penanggung jawab, memberinya wewenang untuk menggunakan sumber daya apa pun dari aparat keamanan yang diperlukan untuk “membasmi” Falun Gong.

Namun, Falun Gong berbeda dari kelompok-kelompok lain yang pernah dicoba dihancurkan oleh rezim. Taktik biasa seperti menangkap para pemimpin terbukti tidak efektif. Selain pendiri praktik ini, yang sudah diasingkan di Amerika Serikat, Falun Gong tidak memiliki pemimpin formal atau hierarki. “Koordinator” lokalnya hanya memfasilitasi kegiatan sederhana seperti latihan kelompok. Ketika mereka ditangkap, orang lain dengan mudah mengambil alih peran mereka.

Ketika penganiayaan meningkat, para praktisi Falun Gong tidak lagi mengorganisir kegiatan publik di Tiongkok dan lebih berfokus pada “ klarifikasi kebenaran ” – menjelaskan fakta-fakta tentang Falun Gong dan penganiayaan secara individual dari orang ke orang. Untuk mengganggu kegiatan mereka, aparat keamanan PKT harus mengidentifikasi mereka, mengawasi mereka, dan menangkap mereka satu per satu – sebuah proses yang sangat menguras sumber daya.

Penganiayaan ini membutuhkan ekspansi besar-besaran dari polisi dan aparat pengawasan negara, yang dilakukan oleh Luo dan penggantinya, Zhou Yongkang, yang juga merupakan rekan dekat Jiang, kata beberapa analis.

Sistem hukum Tiongkok, yang masih dalam masa pertumbuhan, dicekik sejak dalam buaian oleh penganiayaan Falun Gong, menurut Heng.

“Mereka harus membuat pengecualian: Setiap hukum yang sudah ditetapkan harus [diterapkan seolah-olah termasuk] ‘kecuali [untuk] Falun Gong,’” katanya.

Biasanya, praktisi Falun Gong akan diadili karena “merongrong penerapan hukum,” dengan undang-undang yang ditafsirkan secara luas untuk menangkap apa pun yang dianggap rezim layak untuk ditindas, katanya.

“Sistem hukum sudah terbiasa dengan itu. Dan mereka tidak akan berhenti di situ. Mereka akan menggunakan teknik ini untuk memperluas kekuasaan mereka kepada orang lain,” kata Heng.

“Itulah sebabnya mengapa Tiongkok tidak pernah bisa membangun sistem hukum yang sesungguhnya.”

Praktisi Falun Gong ikut serta dalam parade untuk merayakan Hari Falun Dafa Sedunia dan menyerukan diakhirinya penganiayaan di Tiongkok, di Kota New York pada 10 Mei 2024. (Samira Bouaou/The Epoch Times)


Semakin lama, para aktivis hak asasi manusia, umat Buddha Tibet, Muslim Uighur, dan umat Kristiani di dalam negeri dianiaya dengan menggunakan strategi dan perangkat yang pada awalnya diciptakan untuk melawan Falun Gong. Tak satu pun dari informasi ini yang menghiasi halaman-halaman The New York Times.

Ketika Kahn membuat serangkaian cerita tentang sistem peradilan Tiongkok yang menunjukkan hasil telah ditentukan secara politis dan pengakuan yang diakibatkan oleh penyiksaan, tetapi hampir tidak menyebutkan Falun Gong, ia mendapatkan penghargaan Pulitzer.

Pada tahun 2012, koran tersebut hanya menyalahkan Hu atas “pertumbuhan pasukan keamanan yang berlebihan.” Namun terlepas dari niat Hu sendiri, faksi Jiang-lah yang mempelopori perkembangan ini.

“Dari sembilan anggota Komite Tetap, Zhou Yongkang adalah yang terakhir [menduduki jabatan], tetapi dia adalah yang paling berkuasa,” kata Heng.

Pengasingan Bo Xilai

Bo Xilai pernah dianggap sebagai bintang yang sedang naik daun dalam Partai Komunis Tiongkok (PKT). Sebagai salah satu “pangeran kecil”—anak-anak dari para revolusioner awal PKT—ia dipersiapkan untuk kepemimpinan PKT. Pada tahun 1993, ia diangkat sebagai wali kota Dalian, sebuah kota pelabuhan besar di Provinsi Liaoning, timur laut Tiongkok.

Menurut sopir Bo, yang membocorkan rahasia bosnya kepada seorang jurnalis Tiongkok, Bo didorong sejak awal oleh Jiang Zemin untuk menggunakan isu Falun Gong sebagai tangga karier.

Meskipun kampanye penganiayaan secara resmi dimulai pada 20 Juli 1999, gelombang pertama penangkapan terjadi sehari sebelumnya. Penangkapan ini memicu gelombang keluhan pada 20 Juli 1999, di seluruh Tiongkok. Di Dalian, beberapa ribu orang berkumpul di luar gedung pemerintah kota, meminta untuk mengajukan keluhan terhadap penangkapan tersebut. Bo mengerahkan polisi untuk memukuli dan menangkap orang-orang tersebut.

Bo secara pribadi berada di lokasi, mendukung pemukulan tersebut, meskipun dia tidak pernah meninggalkan limousinenya, menurut jurnalis Tiongkok Jiang Weiping, yang kemudian dipenjara karena tulisannya tentang Bo.

Sementara beberapa daerah lambat dalam melaksanakan penganiayaan, Dalian berada di garis depan, yang menyebabkan aliran konstan laporan penangkapan, pemukulan, dan kematian dalam tahanan.

Mendapatkan pujian tinggi dari Jiang, Bo diangkat menjadi gubernur Provinsi Liaoning pada tahun 2001. Provinsi ini kemudian menjadi pusat penganiayaan, mempelopori penggunaan berbagai metode penyiksaan untuk memaksa praktisi Falun Gong melepaskan keyakinan mereka. Liaoning juga menjadi rumah bagi Kamp Kerja Paksa Masanjia yang luas, paling terkenal karena menyiksa pengikut Falun Gong hingga tewas.

Pada tahun 2004, Bo diangkat menjadi menteri perdagangan dalam kabinet Perdana Menteri Wen Jiabao. Promosi ini menempatkan Bo dalam posisi untuk menduduki salah satu jabatan tertinggi PKT.

Setelah Chen Liangyu lengser dari Shanghai lengser pada tahun 2006, Bo menjadi favorit Jiang untuk menjadi penerus Hu Jintao, menurut beberapa komentator. Selama Kongres Partai tahun 2007, Bo mengincar jabatan wakil perdana menteri dan tempat di Komite Tetap Politbiro.

Selama negosiasi, atasannya, Wen Jiabao, menentang promosi Bo Xilai. Wen berargumen bahwa Bo tidak cocok untuk peran yang begitu menonjol karena dia menjadi target banyak tuntutan hukum di negara-negara lain, menurut sebuah kabel Departemen Luar Negeri AS yang dipublikasikan oleh Wikileaks.

Hu Jintao setuju dengan pendapat Wen. Akibatnya, Bo ditolak dari kursi Komite Tetap dan malah ditempatkan sebagai pemimpin di Chongqing, sebuah kota megapolitan yang terpencil dan penuh masalah di Tiongkok barat.

Bo tidak terlalu populer di kalangan para tetua PKT. Agresivitasnya membuatnya tidak bisa diprediksi, kata Heng.

Namun, argumen yang digunakan Wen untuk menggagalkan promosi Bo mengungkapkan ketakutan terburuk dari kelompok Jiang, kata Li.

Tuntutan hukum internasional yang dimaksud diajukan oleh praktisi Falun Gong—para penyintas dari teror yang dilakukan Bo di Liaoning.

Bagi Jiang, langkah Wen tersebut pasti mengindikasikan bahwa Hu bersedia menggunakan isu Falun Gong melawan dirinya, kata Li.

Serangan Jiang terhadap Hu semakin intensif.

Pada tahun 2009 dan 2010, Bo Xilai dan Zhou Yongkang menggunakan pengaruh mereka untuk memungkinkan netizen Tiongkok mengakses propaganda yang menentang Hu, kata seorang sumber terpercaya kepada The Epoch Times.

Pada tahun 2010, mesin pencari Tiongkok Baidu menunjukkan konten kepada pengguna yang biasanya akan disensor. Salah satu judul berbunyi, “Putra Hu Jintao Sangat Korup, Jiang Zemin Ingin Menyelesaikan Masalah Ini.”

Upaya Bo dan Zhou mencapai puncaknya dalam serangkaian peristiwa dramatis pada tahun 2012 yang akhirnya mengarah pada kejatuhan mereka.

The New York Times tidak pernah mengeksplorasi isu-isu ini, secara konsisten mengabaikan keterlibatan Bo dalam penganiayaan terhadap Falun Gong. Pada tahun 2009, para praktisi Falun Gong telah mengajukan lebih dari 70 tuntutan hukum di lebih dari 30 pengadilan di seluruh dunia terhadap Jiang dan pelaku lainnya dalam penganiayaan tersebut—sejumlah di antaranya ditujukan kepada Bo.

Dokumen pengadilan tentang tuntutan hukum terhadap Jiang Zemin dan rekan-rekannya terkait kampanye penganiayaan PKT terhadap Falun Gong. (U.S. District Court for the District of Columbia, U.S. District Court Northern District of Illinois, U.S. Court of Appeals for the Seventh Circuit)


Beberapa pengadilan di AS mengeluarkan putusan kelalaian terhadap individu yang terlibat secara pribadi dalam penyiksaan. Pada tahun 2009, pengadilan Spanyol menuntut lima pejabat PKT saat ini dan yang sudah pensiun karena penyiksaan, termasuk Jiang Zemin, Luo Gan, Bo Xilai, dan Jia Qinglin. Tahun yang sama, pengadilan Argentina mengeluarkan surat perintah penangkapan internasional untuk Jiang dan Luo.

The New York Times mengabaikan semua perkembangan ini. Pada tahun 2014, koran tersebut melaporkan bahwa Parlemen Spanyol sedang mempersiapkan untuk membatasi yurisdiksi internasional pengadilan karena dianggap “memperumit diplomasi dengan cara yang tidak terduga.” Artikel tersebut menggambarkan para hakim sebagai “terlalu bersemangat” dan “provokator.”

Artikel itu menyebutkan surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh seorang hakim Spanyol untuk Jiang dan mantan Perdana Menteri Tiongkok Li Peng, tetapi hanya untuk pelanggaran hak asasi manusia di Tibet. Artikel itu juga menyebutkan kasus-kasus terhadap pejabat AS dan Israel.

Naiknya Xi Jinping

Xi Jinping pertama kali muncul dalam laporan The New York Times pada tahun 2007, ketika ia menjadi kepala Partai di Shanghai. Kahn mengklaim bahwa Xi adalah “sekutu dekat” Zeng Qinghong. Kahn, yang meliput perombakan kekuasaan PKT 2007 untuk surat kabar tersebut, menggambarkan Xi sebagai favorit faksi Jiang yang juga dapat diterima oleh Hu sebagai penerus.

Xi diangkat ke Komite Tetap Politbiro pada tahun yang sama.

Namun, seperti yang dicatat Li, hubungan antara Xi dan kelompok Shanghai lebih rumit. Setelah pergeseran Bo, faksi Jiang perlu memastikan bahwa mereka memiliki calon untuk transisi 2012. Namun, calon tersebut harus memiliki usia dan latar belakang yang tepat untuk mengalahkan favorit Hu, Li Keqiang. Xi tampaknya satu-satunya pilihan karena, seperti Li, ia adalah seorang pangeran kecil.

Selain itu, Xi “dilihat sebagai tidak berbahaya,” kata Zhang.

Seorang sumber memberitahukan kepada The Epoch Times bahwa faksi Jiang merencanakan agar Bo menggantikan Zhou sebagai kepala Komisi Urusan Politik dan Hukum (PLAC) pada tahun 2012 dan kemudian memaksa Xi untuk menyerahkan kekuasaan, sebagian dengan menggunakan bocoran informasi yang merugikan.

Pada tahun 2010, pencarian untuk “Xi Jinping” di Baidu mengembalikan artikel seperti “Xi Jinping adalah seorang berperilaku seksual yang tidak senonoh, Bermain dengan Wanita di Zhejiang di Belakang Istri Keduanya.”

Namun, Xi terbukti jauh lebih sulit dikendalikan. Salah satu alasan adalah karena ia tidak secara langsung terlibat dalam penganiayaan terhadap Falun Gong, sehingga kesetiaannya kepada kelompok Jiang tidak dapat dijamin.

Wajah sebenarnya Xi muncul pada tahun 2012 dengan meledaknya skandal Bo Xilai.

Bo Xilai Membangun Citranya

Bo menggunakan masa pengasingannya di Chongqing untuk merencanakan comeback. Ia menggambarkan dirinya sebagai teman orang miskin, dengan bebas memberikan izin tempat tinggal kepada pekerja migran kota (dengan syarat mereka melepaskan hak atas tanah di desa asal mereka).

Ia meluncurkan proyek perumahan publik dan penghijauan yang membengkakkan utang kota. Ia memulai kampanye “Hancurkan Hitam” untuk mendapatkan pujian publik karena menangani masalah kejahatan terorganisir di Chongqing.

Kampanye tersebut tampaknya meniru penggunaan korupsi anti-korupsi oleh Jiang, dengan menargetkan bisnis reguler bersama dengan perusahaan kriminal, menghilangkan lawan-lawannya dan menguntungkan sekutu-sekutu Bo yang siap menjarah aset yang disita. Pengakuan diperoleh melalui penyiksaan mirip dengan metode yang digunakan untuk “mengubah” praktisi Falun Gong.

Bo juga meluncurkan kampanye “Bernyanyi Merah,” mengorganisir orang-orang untuk menyanyikan lagu-lagu revolusioner Maois dan mengenakan pakaian merah.

Menurut beberapa ahli, ini adalah perhitungan yang salah. Kampanye politik PKT selalu diluncurkan dari tingkat atas. Daerah-daerah tidak diperbolehkan memulai kampanye mereka sendiri. Selain itu, sejak era Deng Xiaoping, Partai telah memperjelas bahwa era Maois telah berakhir.

Pada tahun 2011, Bo Xilai menggelar latihan militer di Chongqing saat Hu Jintao berada di luar negeri, sebuah pertanda bahwa dia mencoba memamerkan pengikut pribadinya di kalangan militer, kata beberapa pengamat. Ada indikasi bahwa dia berusaha mendapatkan pengaruh atas unit-unit militer yang ditempatkan di barat daya, di mana lebih sulit bagi Beijing mengendalikannya.
Layar memperlihatkan mantan politikus Tiongkok Bo Xilai (tengah) berdiri dalam sebuah konferensi pers di Hotel Jihua di Jinan, Tiongkok, pada 22 Agustus 2013. Bo diadili atas tuduhan penyuapan, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia menjadi berita utama di seluruh dunia tahun lalu ketika istrinya, Gu Kailai, didakwa dan dihukum karena membunuh pengusaha Inggris Neil Heywood. (Feng Li/Getty Images)


Digabungkan dengan kekuasaan Zhou Yongkang atas polisi, langkah ini memicu beberapa komentator untuk bertanya-tanya apakah keduanya sedang mempersiapkan kudeta.

Semua faktor ini berkontribusi pada kejatuhan Bo, tetapi tidak menjadi pemicu utama.

Tewasnya Seorang Warga Negara Inggris

Pada 15 November 2011, jasad pengusaha Inggris, Neil Heywood, ditemukan di Hotel Lucky Holiday di Chongqing. Kepala polisi kota, Wang Lijun, seorang sekutu Bo, menemukan bahwa Heywood telah diracuni oleh istri Bo Xilai, Gu Kailai.

Versi resmi dari cerita ini adalah bahwa Heywood menuntut $22 juta dari Gu dan mengancam putranya. Dia mengalami gangguan saraf dan merencanakan untuk meracuninya.

Cerita yang tidak dimuat dari laporan resmi oleh media Barat mengatakan bahwa Heywood mengatur agar kekayaan Gu dan Bo ditransfer ke luar negeri dan menginginkan bagian yang lebih besar dari yang disepakati. Ketika dia menolak, dia mengancam akan membeberkan transfer tersebut. Dia kemudian meracuninya.

Tidak ada satu pun cerita yang masuk akal, kata beberapa komentator Epoch Times.

“Alasan resmi kematian Neil Heywood tidak masuk akal,” kata Li.
(Kiri) Surat kabar meliput berita tentang Bo Xilai yang dicopot dari jabatan elite Partai Komunisnya, serta penyelidikan terhadap istrinya atas pembunuhan seorang pengusaha Inggris, di Beijing pada 11 April 2012. (Kanan Atas) Gu Kailai, istri mantan politikus Tiongkok Bo Xilai. (Kanan Bawah) Pengusaha Inggris Neil Heywood diracuni oleh Gu Kailai, istri mantan politikus Tiongkok Bo Xilai. (Ed Jones/AFP via Getty Images, Public Domain)


Sebagai pembuka, sang Bos tak masalah membayar Heywood dengan mahal untuk jasa apa pun yang telah ia berikan.

“Uang sama sekali bukan masalah bagi seorang pejabat setingkat Bo Xilai,” katanya.

Selain itu, akan sulit untuk membayangkan bahwa Heywood, yang tidak memiliki sosok yang mengintimidasi, mengancam Gu, istri seorang pejabat yang sangat berkuasa dari salah satu pejabat paling berkuasa dan kejam di Tiongkok. Melawan suaminya diketahui dapat membuat orang masuk penjara, dipapah, atau bahkan di dalam peti mati, kata Li.

Pemeriksaan media terhadap latar belakangnya mengungkapkan bahwa Heywood merahasiakan mengenai hubungannya dengan sang Bos, namun tampaknya hubungan tersebut sudah terjalin sejak tahun 1990-an. Jika dia mengetahui rahasia mereka, hubungan tersebut kemungkinan besar melibatkan lebih dari sekadar transfer uang, menurut Li.

Alih-alih Gu mengalami gangguan mental, kemungkinan besar Heywood menyerah di bawah tekanan, sehingga membahayakan rahasia Bo, katanya.

The New York Times mengkritik persidangan Gu yang akhirnya dianggap sebagai pertunjukan dan motif yang seharusnya tidak persuasif, tetapi justru terkesan membela Gu, dan liputan tersebut tidak pernah mengeksplorasi motif pembunuhan yang sebenarnya.

Saat kematian Heywood memicu gejolak politik, koran ini meluncurkan pengembangan versi bahasa Mandarin dari situs webnya-sebuah proyek senilai 20 juta dolar yang menjanjikan untuk membuka pasar Tiongkok yang berpotensi menguntungkan. Situs baru tersebut, yang membutuhkan persetujuan terus-menerus dari PKT, mulai diluncurkan pada Juni 2012.

Pelarian yang Ingin Membelot

Sebulan sebelum kematian Heywood, Wang Lijun, kepala polisi, ditempatkan di bawah penyelidikan komite disiplin Partai, yang kepalanya memiliki masalah pribadi dengan Bo Xilai.

Wang, yang mungkin tidak senang dengan kegagalan Bo untuk melindunginya dari penyelidikan, mengkonfrontasi Bo dengan temuannya tentang pembunuhan Heywood, menurut berbagai laporan orang dalam, termasuk yang diterbitkan pada saat yang sama oleh The Epoch Times dan media pro-Demokrasi Tiongkok.

Bo sangat marah, dan dia membalas dengan meluncurkan penyelidikannya sendiri terhadap Wang, membuat sejumlah bawahan Wang ditangkap dan beberapa orang diduga dipukuli hingga tewas.

Pada 2 Februari 2012, Wang diturunkan jabatannya, dan empat hari kemudian, dia menyelinap ke dalam sebuah mobil yang tidak terlalu mencolok, dan meluncur pergi. Mobil tersebut membawanya ke Konsulat AS di Chengdu, di Provinsi Sichuan yang bertetangga.

Wang tiba di konsulat pada malam hari dan meminta suaka. Para diplomat AS menghubungi Departemen Luar Negeri AS, yang kemudian menghubungi Gedung Putih Obama. Pada pagi hari berikutnya, Wang diberitahu bahwa permintaannya ditolak. Dia kemudian mengusulkan untuk menyerahkan dirinya kepada pihak berwenang di Beijing daripada kepada anak buah Bo. Pejabat konsuler setuju dan menghubungi Beijing, yang mengirimkan Kementerian Keamanan Negara untuk menjemput Wang dari konsulat.

Tampaknya Bo mengetahui apa yang terjadi pada 7 Februari 2012 pagi. Dia mengirim puluhan mobil polisi ke Chengdu untuk mengepung konsulat.
(Kiri) Layar memperlihatkan mantan kepala polisi Wang Lijun saat memberikan kesaksian pada hari ketiga persidangan mantan politikus Tiongkok Bo Xilai di Pengadilan Menengah Rakyat Jinan di Jinan, Tiongkok, pada 24 Agustus 2013. (Kanan) Polisi Tiongkok berjaga di luar pengadilan menengah rakyat Chengdu, tempat Wang Lijun, mantan kepala polisi yang memicu skandal Bo Xilai, menunggu putusan dalam persidangannya di Chengdu, Provinsi Sichuan, Tiongkok, pada 24 September 2012. (Feng Li/Getty Images, Mark Ralston/AFP/GettyImages)


Beijing diduga mengerahkan otoritas Sichuan untuk mengamankan konsulat. Para pejabat Kementerian Keamanan Negara kemudian bertemu dengan Wang.

Sebelum meninggalkan konsulat pada 7 Februari 2012, Wang memberikan informasi yang tidak disebutkan kepada pejabat konsuler AS.

Hingga saat ini, masih belum jelas apa yang diketahui pemerintah AS. Baik pemerintahan Obama maupun Departemen Luar Negeri AS yang dipimpin oleh Hillary Clinton tidak memberikan informasi apa pun.

Bill Gertz, reporter keamanan nasional untuk Washington Free Beacon, menulis bahwa “sumber yang akrab dengan debriefing Wang mengatakan bahwa dokumen tersebut berisi rincian tentang korupsi dan keterkaitan dengan kejahatan terorganisir oleh bosnya, Bo Xilai, serta rincian tentang penindasan polisi Tiongkok terhadap perbedaan pendapat.” Mengacu pada pejabat AS, Gertz melaporkan bahwa kantor Wakil Presiden Joe Biden, khususnya penasihat keamanan nasionalnya Antony Blinken, menolak permintaan suaka Wang, karena khawatir Tiongkok akan membatalkan kunjungan Xi Jinping ke AS yang akan datang.

Wang mengungkapkan kepada pejabat konsuler tentang rencana Bo dan Zhou untuk menghalangi naiknya Xi Jinping ke tampuk kekuasaan, menurut Boxun, sebuah situs berita pro-Demokrasi Tiongkok yang tampaknya menerima serangkaian bocoran yang diduga berasal dari lawan-lawan Bo pada saat itu.

Mengingat urusan Wang, beberapa pejabat intelijen AS, terutama mereka yang “terlibat dalam mengoperasikan agen-agen di Tiongkok dan mengumpulkan intelijen komunikasi,” percaya bahwa Zhou merupakan ancaman bagi Xi, tulis Gertz. “Zhou bisa mengatur perebutan kekuasaan Xi dan mengganggu mulusnya transisi kekuasaan dari Presiden saat ini Hu Jintao ke Xi,” kata artikel itu.

Bagaimanapun juga, Wang pasti memiliki akses ke beberapa rahasia paling kotor dari faksi Jiang.

Membunuh Demi Organ

Wang Lijun bekerja dengan Bo Xilai dalam beberapa peran yang berbeda, sejak masa Bo di Provinsi Liaoning. Pada tahun 2006, ketika Wang memimpin keamanan publik di Kota Jinzhou, ia menerima penghargaan atas kontribusinya dalam penelitian transplantasi organ. Implikasinya jelas—sebagai kepala keamanan publik, ia bertanggung jawab untuk menyediakan narapidana sebagai sumber organ.

Dalam pidato penerimaannya, Wang menyebutkan bahwa “penelitian” tersebut melibatkan “beberapa ribu transplantasi intensif di tempat.”

Hal ini membangkitkan kewaspadaan di kalangan penyelidik pelanggaran transplantasi di Tiongkok. Para kelompok hak asasi manusia memperkirakan negara itu mengeksekusi sekitar 10.000 orang per tahun—angka tertinggi di dunia. Tapi bagaimana mungkin seorang pejabat tunggal di satu kota mengawasi ribuan transplantasi?

Sekitar waktu yang sama, pada tahun 2006, informasi pertama mulai muncul dari Tiongkok tentang bentuk kejahatan yang disponsori negara yakni membunuh tahanan hati nurani untuk organ sesuai permintaan.

Pertama, seorang mantan istri seorang ahli bedah Tiongkok mendekati The Epoch Times dengan tuduhan tersebut, mengatakan bahwa sebagian besar tahanan adalah praktisi Falun Gong dan bahwa mereka masih hidup ketika organ mereka diambil. Tak lama setelah itu, seorang mantan perwira militer muncul dengan tuduhan serupa.

Kasus ini terbongkar setelah para peneliti di luar negeri mulai menelepon rumah sakit di Tiongkok dengan menyamar sebagai pasien atau keluarga pasien yang membutuhkan transplantasi. Dalam percakapan yang direkam, para dokter secara terbuka mengonfirmasi bahwa organ tubuh tersedia secara virtual sesuai permintaan, hanya dalam waktu satu atau dua minggu. Bahkan ada yang menegaskan bahwa mereka dapat menyediakan organ “dari Falun Gong” ketika para penyelidik mengatakan bahwa mereka telah mendengar bahwa organ-organ tersebut adalah yang paling sehat.

Provinsi Liaoning, dengan pasar transplantasi yang tampaknya berkembang pesat, menjadi sorotan utama dalam penyelidikan.

Para penyelidik juga berhasil menghubungi beberapa pejabat tinggi PKT, termasuk Zhou Yongkang dan Li Changchun. Mereka secara diam-diam mengakui bahwa pengambilan organ tubuh sedang berlangsung, sebelum akhirnya menyadari ada yang tidak beres dengan panggilan telepon tersebut dan mengakhirinya.

The New York Times tidak mengeksplorasi detail apa pun tentang latar belakang Wang. Pada saat The Epoch Times melaporkan rincian ini pada 14 Februari 2012, liputan terbaru The New York Times masih mencoba untuk mencari tahu apakah Wang benar-benar berusaha membelot.

Pada akhirnya, The New York Times membantu Partai Komunis Tiongkok (PKT) menutupi isu pembunuhan demi organ ini.

Pada tahun 2014, Partai Komunis Tiongkok (PKT) mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan penggunaan narapidana hukuman mati untuk transplantasi organ. Namun, ketika seorang reporter The New York Times, Didi Kirsten Tatlow, menerima petunjuk bahwa praktik tersebut belum berhenti dan para tahanan hati nurani masih digunakan, surat kabar tersebut menghalangi penyelidikannya. Dia akhirnya meninggalkan surat kabar itu tak lama setelahnya.

“Kesan saya adalah The New York Times, tempat saya bekerja saat itu, tak senang saya menelusuri cerita-cerita ini [tentang penyalahgunaan transplantasi organ], dan setelah awalnya mentolerir upaya saya, membuatnya tidak mungkin bagi saya untuk melanjutkannya,” katanya dalam kesaksian tahun 2019 kepada China Tribunal, sebuah panel ahli independen di London yang meninjau bukti-bukti terkait pengambilan organ secara paksa.

Tribunal itu menyimpulkan bahwa rezim Tiongkok memang telah mengambil organ dari praktisi Falun Gong dan tahanan hati nurani lainnya dalam skala besar. The New York Times mengabaikan baik putusan tersebut maupun sejumlah besar bukti yang mendasarinya, termasuk pernyataan Tatlow.

Baru-baru ini, ketika dihadapkan dengan rekam jejaknya tentang masalah ini, seorang juru bicara The New York Times mengatakan kepada The Epoch Times bahwa surat kabar tersebut memang meliput masalah “donasi organ secara paksa” di Tiongkok, dengan merujuk pada satu artikel tahun 2016 oleh Tatlow yang menyebutkan tuduhan tersebut tetapi tidak membahas bukti yang mendasarinya.

Pada 16 Agustus, The New York Times menerbitkan artikel yang sekali lagi mengabaikan banyaknya bukti tentang praktik PKT yang membunuh para tahanan hari nurani Falun Gong untuk organ. Sebaliknya, mereka mengandalkan satu peneliti Tiongkok yang disebutkan namanya, yang mengatakan bahwa bukti tersebut tidak ada.

Falun Dafa Information Center (FDIC), sebuah organisasi nirlaba yang memantau penganiayaan terhadap Falun Gong, mempermasalahkan ungkapan “donasi organ secara paksa.” Menurut mereka, penggunaan kata “paksa” dan “donasi” dalam frasa yang sama adalah hal yang kontradiktif dan “aneh”.

Dalam sebuah laporan pada Maret yang merinci liputan “memalukan” surat kabar tersebut tentang Falun Gong, FDIC mencatat petaka yang ditimbulkan oleh kegagalan jurnalistik ini.

“Dampak dari pelaporan yang menyimpang oleh The New York Times dan perlakuan yang tidak bertanggung jawab terhadap para praktisi Falun Gong sebagai ‘korban yang tidak layak’ telah berkontribusi pada impunitas yang dinikmati oleh para pelaku dan merampas dukungan internasional yang sangat dibutuhkan oleh para korban mereka, yang mana tidak diragukan lagi mengakibatkan penderitaan yang lebih besar dan hilangnya nyawa di seluruh daratan Tiongkok,” demikian pernyataan laporan tersebut.

Namun, bukan berarti The New York Times mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia di Tiongkok secara keseluruhan. Sebaliknya, beberapa orang berpendapat bahwa surat kabar tersebut mengambil pendekatan yang lebih “disanitasi.”

Kritik yang Aman

Menurut dokumentasi FDIC, antara tahun 2009 dan 2023, The New York Times hanya menerbitkan 17 artikel tentang Falun Gong, tetapi lebih dari 200 artikel tentang masalah Uyghur dan lebih dari 300 tentang Tibet.

Dari sudut pandang kepentingan surat kabar tersebut di Tiongkok, mengkritik pelanggaran hak asasi manusia di Tibet atau Xinjiang yang jauh dianggap relatif “aman,” menurut Trevor Loudon, seorang ahli rezim komunis dan kontributor The Epoch Times.

“Itu seperti menunjukkan kebajikan—‘Lihat, kami mendukung hak asasi manusia.’ Tapi mereka tidak akan pernah melakukannya dengan Falun Gong karena akan benar-benar menyinggung PKT. PKT akan mengamuk karenanya,” katanya kepada The Epoch Times.

Meskipun mengungkap pelanggaran terhadap orang Tibet atau Uyghur memicu kemarahan di luar negeri, tapi menyebabkan sedikit ketidakstabilan di dalam negeri, kata Loudon, karena minoritas etnis tersebut memiliki pengaruh terbatas di pusat-pusat utama Tiongkok.

Sebaliknya, Falun Gong “berakar pada budaya Tiongkok,” yang memberikannya daya tarik langsung, katanya.

“Orang Tiongkok tidak akan mengadopsi Islam besok. Orang Tiongkok tidak akan mengadopsi agama Buddha Tibet. Namun, jutaan penduduk Tiongkok bersimpati terhadap Falun Gong,” ujarnya.

Selain itu, lebih mudah bagi PKT melabeli minoritas etnis dengan label politik—”separatis” kepada orang Tibet dan “teroris” pada orang etnis Uyghur.

Namun, para praktisi Falun Gong sebagian besar adalah orang Tiongkok biasa, tersebar di berbagai lapisan masyarakat. Tuntutan politik mereka hanya agar rezim berhenti melakukan penganiayaan, kata Loudon.

“Orang Tiongkok tidak bisa mengatakan bahwa Falun Gong adalah separatis. Mereka tidak bisa mengatakan bahwa mereka teroris. Mereka tidak bisa mengatakan bahwa mereka benar-benar politis. Yang bisa mereka katakan hanyalah bahwa mereka aneh atau gila,” ujarnya.

Dan, itulah tepatnya garis serangan yang dibantu oleh The New York Times, berdasarkan laporan FDIC.

Menghadapi Realitas Bo

Ketika skandal Bo Xilai terungkap pada tahun 2012, The New York Times tampaknya enggan mengakui dampaknya, awalnya mengambil nada positif tentang Bo yang hanya perlahan memburuk seiring munculnya lebih banyak detail yang memberatkan.

Pada akhir Februari hingga Maret 2012, komentator Epoch Times sudah memprediksi dengan tepat bahwa kasus Wang Lijun akan menyebabkan jatuhnya tidak hanya Bo, tetapi juga Zhou.

Pada waktu yang bersamaan, Komite Tetap Politbiro mengadakan pertemuan untuk membahas situasi tersebut. Zhou berargumen bahwa penyelidikan harus berhenti pada Wang. Itu berarti Bo akan terhindar. Pada titik ini, Xi ikut campur, mengusulkan agar penyelidikan mencakup siapa pun yang terlibat. Wen mendukung dan kemudian Hu setuju.

“Demikianlah keadaan berubah,” tulis Desmond Shum, mantan rekan bisnis istri Wen Jiabao, dalam memoarnya “Red Roulette.”

Seorang orang dalam di Beijing memberikan laporan serupa kepada The Epoch Times pada saat itu.
The New York Times tampak enggan mengakui kejatuhan Bo Xilai pada tahun 2012, dan baru mengakuinya setelah dokumen resmi yang menuduh Bo melakukan korupsi bocor secara daring. (Cuplikan layar melalui The Epoch Times, New York Times)


Namun, pada akhir Februari 2012, The New York Times masih berargumen bahwa Bo paling buruk hanya akan dipaksa untuk pensiun, dengan mengatakan bahwa “bahkan banyak kritikus liberal bersemangat dengan keberaniannya melanggar aturan dan mendorong reformasi.”

Setelah Bo dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya di Chongqing pada Maret 2012, surat kabar tersebut masih berspekulasi bahwa “mungkin saja Tuan Bo masih bisa memiliki karier politik” atau bahkan “bangkit kembali.”

Hanya ketika sebuah dokumen resmi yang menuduh Bo melakukan korupsi bocor secara online, surat kabar itu mengakui bahwa ia akan menghadapi tuntutan. Pihak atasan di Beijing—yang berarti Hu dan Wen—mungkin sedang mencoba “merusak reputasinya sebagai Robin Hood populis yang menggunakan kekuasaannya untuk memperbaiki nasib rakyat jelata di Chongqing,” demikian pernyataan surat kabar itu.

Penyelidikan resmi menandakan bahwa Bo menjadi target yang sah. Bahkan sensor membiarkan rakyat Tiongkok biasa mengkritik Bo secara daring.

The New York Times tiba-tiba mendapatkan akses ke tumpukan bukti kesalahan Bo dalam kampanye “Pukulan Mematikan” di Chongqing.

“Setelah dipuji sebagai upaya perintis untuk memberantas korupsi, para kritikus sekarang menggambarkan aparat keamanan yang lepas kendali: menjebak korban, mendapatkan pengakuan melalui penyiksaan, memeras kerajaan bisnis, dan melakukan pembalasan terhadap saingan politik Bo dan teman-temannya sambil melindungi mereka yang memiliki koneksi lebih baik,” tulis surat kabar itu, secara tidak langsung menghilangkan pujiannya terhadap Bo beberapa minggu sebelumnya.

Surat kabar tersebut juga melakukan perhitungan terhadap kekayaan besar kerabat Bo dan, pada akhir April 2012, mengungkapkan tuduhan bahwa Bo memata-matai para pemimpin Partai Komunis Tiongkok—sebulan setelah media lain melaporkannya.

Namun, Zhou Yongkang tampaknya tidak dapat disentuh oleh The New York Times. Surat kabar itu tidak menyentuh tuduhan bahwa Bo dan Zhou bersekongkol untuk menyingkirkan Xi.

Pada 31 Maret 2012, The New York Times menerbitkan sebuah artikel yang menepis “rumor kudeta” yang melibatkan Zhou. “Sebagian besar analis Tiongkok telah mengabaikannya sebagai sebuah fabrikasi,” tulis surat kabar itu.

Pada 19 Mei 2012, surat kabar tersebut melaporkan kunjungan Zhou ke Xinjiang, menyajikannya sebagai “tanda bahwa ia masih memegang teguh jabatannya.”

Namun, seperti yang dikatakan orang dalam Beijing kepada The Epoch Times sekitar waktu yang sama, penyelidikan internal terhadap Bo menyimpulkan bahwa dia dan Zhou memang merencanakan mendorong Xi keluar dalam kudeta de facto dan Wen berhasil berargumen untuk memerintahkan Zhou diselidiki. Dengan demikian, Zhou tidak benar-benar memegang kendali atas PLAC lagi. Dia diizinkan untuk bertahan hingga jadwal pensiunnya di akhir tahun itu. Selain itu, sebuah kesepakatan juga dicapai bahwa kekuasaan PLAC akan dikurangi.

Pada Juli 2012, The New York Times menyebutkan bahwa “perluasan kekuasaan keamanan yang cepat di bawah Zhou Yongkang… telah mengkhawatirkan beberapa pemimpin partai.” Namun artikel tersebut lagi-lagi mengabaikan peran kampanye anti-Falun Gong Jiang dalam perluasan tersebut, dan justru menyalahkan kebijakan umum Hu untuk menjaga stabilitas.

Serangan Terhadap Reformis

Pada 25 Oktober 2012, kurang dari dua minggu sebelum Kongres Partai di mana Hu Jintao akan menyerahkan kendali kepada Xi Jinping, The New York Times menerbitkan sebuah laporan investigasi besar-besaran mengenai kekayaan keluarga Perdana Menteri Wen Jiabao.

Artikel tersebut memiliki beberapa keunikan. Hingga saat itu, The New York Times hampir tidak menyentuh permukaan dalam mengungkap kekayaan elite Partai Komunis Tiongkok (PKT). Ada beberapa alasan untuk ini. Pertama, bisa berbahaya bagi seorang jurnalis yang bekerja di Tiongkok untuk secara pribadi mengejar pejabat PKT berpangkat tinggi. Kedua, hampir tidak mungkin untuk mengumpulkan bukti yang kuat.

“Pejabat tinggi PKT sangat pandai menyembunyikan kekayaannya,” kata Li.

Jika surat kabar tersebut memutuskan mengambil risiko dan mengeluarkan biaya untuk penyelidikan semacam itu, tidak jelas mengapa mereka memilih Wen sebagai target. Perdana menteri yang sederhana ini termasuk segelintir orang di kalangan atas PKT yang bersedia menerima reformasi politik. Bahkan, dia dikenal sebagai yang paling tidak korup. Dan, dia akan segera pensiun.

Penulis laporan investigasi tersebut, David Barboza, mengakui bahwa dia tidak menemukan apa pun yang ilegal dalam keuangan keluarga Wen, meskipun artikel tersebut berpendapat bahwa beberapa investasi mungkin mendapat keuntungan dari kebijakan Wen. Kekayaan yang terungkap, diperkirakan sebesar $2,7 miliar, jauh lebih kecil dibandingkan dengan kekayaan besar yang dimiliki oleh kerabat para pejabat besar PKT lainnya.
The New York Times menerbitkan berita besar-besaran tentang kekayaan keluarga Perdana Menteri Wen Jiabao, yang diperkirakan mencapai $2,7 miliar, tetapi tidak menyinggung Jiang dan rekan-rekannya yang dengan mudah mengumpulkan kekayaan hingga puluhan miliar dolar. (Cuplikan layar melalui The Epoch Times, New York Times, Samira Bouaou/The Epoch Times)


Sebagai Kepala Biro Shanghai pada saat itu, Barboza akan berada di posisi yang baik menyelidiki kekayaan faksi Jiang. Kerabat Jiang dan rekan-rekannya, termasuk mantan Wakil Perdana Menteri Zeng Qinghong, mengumpulkan kekayaan dengan mudah hingga puluhan miliar dolar. Juga ada lebih sedikit ambiguitas mengenai korupsi mereka—ini adalah rahasia umum bahwa mereka memperoleh investasi menguntungkan dengan harga murah dan mendapatkan posisi tinggi melalui tekanan tidak etis dari antek-antek Jiang.

“Petingi partai teratas, Jiang Zemin, mengirim utusan untuk mempengaruhi demi kepentingan anak-anak dan cucunya,” dan “perwakilannya menuntut ketaatan,” tulis Shum.

Tetapi The New York Times tak pernah menerbitkan paparan seperti itu, kecuali ketika pejabat yang bersangkutan sudah tak disukai oleh PKT.

Mengandalkan sumber orang dalam, istri Wen mengklaim bahwa The New York Times sebenarnya dimanfaatkan oleh Bo dan Zhou untuk menyerang Wen, tulis Shum. Media pro-Demokrasi di luar negeri juga melaporkan hal yang sama.

Selain itu, beberapa bulan sebelum artikel Barboza diterbitkan, beberapa media Tiongkok di luar negeri mengklaim bahwa Bo dan Zhou telah menyebarkan informasi yang akan merugikan Wen.

Barboza mengatakan dia mendapatkan temuannya dari dokumen yang dapat diakses publik, dan dia membantah menerima bantuan dalam penelitiannya. Dalam sesi tanya jawab pada tahun 2012, dia mengatakan bahwa dia memilih Wen karena “spekulasi tentang kerabat perdana menteri sangat gigih” dan dia telah mendengar tentang kekayaan mereka “selama bertahun-tahun.” Heng berpendapat bahwa mungkin apa yang Barboza dan rekan-rekannya dengar—dan dari siapa—bukanlah kebetulan. Dia menduga bahwa “seseorang memberi mereka petunjuk atau mengarahkan jalan mereka untuk penyelidikan.”

Baik dia maupun Li meragukan bahwa penelitian apa pun mengenai keuangan keluarga Wen akan berhasil tanpa bantuan dari seseorang yang berada di posisi puncak Partai.

Namun, banyak analis pada saat itu setuju bahwa artikel tersebut membantu faksi Jiang. Barboza bahkan mengakui dalam artikel tersebut bahwa “pengungkapan tentang kekayaan keluarga Wen dapat melemahkannya secara politis” selama perebutan kekuasaan terakhir.

Setelah artikel tersebut diterbitkan, PKT segera memblokir situs web The New York Times, termasuk situs berbahasa Mandarin yang baru.

Surat kabar tersebut terus menerbitkan artikel tambahan tentang keluarga Wen. Namun di balik layar, surat kabar itu secara intensif melobi PKT untuk membuka blokir situsnya.

Mantan editor eksekutif Jill Abramson kemudian mengeluhkan dalam bukunya bahwa penerbit, Sulzberger, bertindak di belakangnya, dan “dengan masukan dari Kedutaan Besar Tiongkok, sedang menyusun surat dari Times kepada pemerintah Tiongkok yang hampir meminta maaf atas cerita asli kami.”

Berdasarkan analisis surat kabar itu sendiri tentang politik PKT, menyerang Wen seharusnya tidak menjadi masalah setelah Xi mengambil alih. Karena Wen adalah lawan kuat faksi Jiang dan Xi diduga sekutu Jiang, Xi seharusnya senang melihat Wen dilemahkan menjelang Kongres Partai.

Namun demikian, faksi Jiang tidak pernah menganggap Xi sebagai salah satu dari mereka, kata Heng.

Jika peristiwa tahun 2012 mengajarkan sesuatu kepada Xi, itu adalah bahwa orang-orang yang didukung Jiang, seperti Bo dan Zhou, bukanlah temannya. Jika Xi tidak dapat menemukan cara untuk melawan faksi Jiang, dia akan berakhir sebagai “boneka” mereka, kata Heng.

Hu, Wen, dan lingkaran pendukung mereka akan menjadi sekutu penting dalam mendorong Jiang kembali, seperti yang sudah mereka buktikan dalam mengalahkan Bo, kata Li.

Sebaliknya, dengan bantuan The New York Times, faksi Jiang menggiling Hu dan Xi, mengisi Komite Tetap Politbiro yang baru dengan orang-orangnya. Satu-satunya sekutu Hu dalam daftar itu adalah perdana menteri baru, Li Keqiang. Satu-satunya sekutu Xi adalah kepala disiplin Partai, Wang Qishan.

“Sudah Lama Pensiun, Mantan Pemimpin Tiongkok Masih Berpengaruh dalam Jabatan-Jabatan Puncak,” demikian judul artikel The New York Times pada 7 November 2012.
Pemimpin Tiongkok Xi Jinping (kiri) menyaksikan mantan pemimpin Hu Jintao dikawal untuk meninggalkan gedung lebih awal dari sesi penutupan Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis Tiongkok, di Aula Besar Rakyat di Beijing pada 22 Oktober 2022. (Kevin Frayer/Getty Images)


Disamping mendorong orang-orangnya masuk ke dalam Komite Tetap, Jiang “menyuarakan kekecewaan terhadap catatan penggantinya, Hu Jintao” dan mengusulkan perubahan kebijakan untuk “mengembalikan Tiongkok ke jalur kebijakan ekonomi yang berorientasi pasar yang menurut dia dan para sekutunya mengalami kemandekan di bawah satu dekade kepemimpinan Hu yang penuh berhati-hati,” tulis artikel tersebut.

“Banyak yang melihat Mr. Jiang, yang membawa Tiongkok ke dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan membangun kembali hubungan dengan Amerika Serikat setelah keretakan pada tahun 1989, sebagai pendukung hubungan yang lebih mendalam dengan Barat dan lebih banyak peluang untuk sektor swasta Tiongkok,” kata artikel itu.

Ini adalah penggambaran sejarah yang keliru, menurut beberapa analis yang mengatakan bahwa Jiang sebenarnya diseret untuk mendukung reformasi ekonomi yang bertentangan dengan keinginannya oleh Deng. Isu-isu ekonomi ditangani oleh Perdana Menteri Zhu Rongji pada masa Jiang, dan pekerjaan di balik layar yang sebenarnya untuk membawa Tiongkok masuk ke dalam WTO, ironisnya, ditangani oleh Wen pada masa jabatannya sebagai wakil perdana menteri.

Adapun sikap pro-Barat Jiang, selalu bersifat taktis dan sementara, menurut Thayer.

“Dia adalah individu yang ditunjuk oleh Deng Xiaoping untuk merumuskan strategi mempengaruhi Kongres, politisi kita, dan elit AS, dan melakukannya dengan sangat efektif,” katanya.

Ketidakmampuan atau ketidakmauan The New York Times dan lainnya untuk mengenali kelicikan Jiang berkontribusi pada salah satu kesalahan paling berbahaya dalam kebijakan luar negeri AS, kata Thayer dalam sebuah buku baru-baru ini, “Embracing Communist China: America’s Greatest Strategic Failure,” yang ditulis bersama James Fanell, mantan perwira intelijen angkatan laut dan ahli Tiongkok.

Artikel The New York Times pada 7 November lebih jauh lagi mengklaim bahwa pengaruh Jiang seharusnya mendorong kepemimpinan baru untuk “membangun sistem hukum berkredibel yang beroperasi dengan tingkat otonomi dari partai.”

Ini tidak dapat dibayangkan, kata para analis, mencatat bahwa faksi Jiang yang melumpuhkan upaya sebelumnya untuk memberikan lebih banyak independensi pada peradilan.

Di akhir artikel tersebut, terdapat pengakuan yang membingungkan bahwa “motif Mr. Jiang tidak sepenuhnya jelas,” karena pejabat-pejabat yang dia dorong ke Komite Tetap tampaknya tidak mungkin melakukan reformasi ekonomi. Mereka sebagian besar adalah kelompok garis keras.

Seperti yang dirangkum Zhang dalam tajuk rencana Epoch Times pada saat itu, “Kepemimpinan Baru di Beijing Menandai Akhir Reformasi.”

“Barisan baru ini akan benar-benar menghancurkan harapan yang tersisa bahwa PKT akan memperbaiki dirinya sendiri,” tulisnya.

Tak Ada Lagi Waktu Menunggu

Setelah setahun mengejar para pejabat PKT dalam upaya untuk menciptakan kembali apa yang telah mereka lakukan dengan Jiang, pimpinan New York Times harus mengakui kekalahan.

Perwakilannya bertemu dengan kantor informasi Dewan Negara dan Kementerian Luar Negeri Tiongkok; bekerja sama dengan kepala corong propaganda utama PKT, kantor berita Xinhua dan People’s Daily; dan mencoba berbagai jalur untuk berkomunikasi dengan Xi dan mengatur pertemuan dengannya, tulis Craig Smith, yang mempelopori pembuatan versi bahasa Mandarin dari koran tersebut.

Dalam sebuah twist yang ironis, utusan New York Times bahkan menghubungi News Corp dan memanfaatkan beberapa kontak PKT-nya, yang dikritik oleh Kahn dalam sebuah ekspos pada tahun 2007 tentang koneksi PKT pimpinan News Corp saat itu, Rupert Murdoch.

Namun, Xi, tampaknya, tidak terkesan.

Hal ini dapat dipahami, menurut Thayer dan Fanell.

Sejak sekitar tahun 2009, PKT mulai beralih ke era baru. Ekspansi militer secara pesat yang dipelopori oleh Jiang, serta meningkatnya PDB negara itu, memberi Partai kepercayaan diri untuk lebih agresif memproyeksikan kekuatan Tiongkok.

Taktik yang ditetapkan oleh Deng Xiaoping, yaitu “sembunyikan kekuatan kita dan tunggu waktu yang tepat,” mulai memudar, digantikan oleh sikap yang semakin konfrontatif terhadap Amerika Serikat.

Semakin percaya diri Partai terhadap kekuatan Tiongkok, semakin sedikit kebutuhan untuk berpura-pura terbuka dan rendah hati, kata beberapa ahli.

Sementara itu, Xi terbukti jauh lebih agresif daripada yang ditunjukkan oleh sikapnya yang tampak tenang. Sekutunya yang kuat di Komite Tetap, Wang, menegakkan “disiplin Partai” kepada para pejabat yang dianggap tidak cukup loyal, menebarkan rasa takut di kalangan PKT.
Mantan pemimpin Tiongkok Jiang Zemin (kiri) berjalan melewati Wakil Presiden Tiongkok Xi Jinping (kanan) setelah sesi penutupan Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok ke-18 di Aula Besar Rakyat di Beijing pada 14 November 2012. (Feng Li/Getty Images)


Jika faksi Jiang mengharapkan Xi yang mudah dikendalikan, mereka akan menghadapi kejutan besar. Xi bergerak untuk membongkar pusat kekuasaan alternatif yang telah dibentuk Jiang di Komite Politik dan Hukum (PLAC), meluncurkan penyelidikan luas terhadap Zhou Yongkang dan kroninya. Dia juga mulai membersihkan loyalis Jiang dari militer.

Pada tahun 2015, People’s Daily menerbitkan artikel opini yang mengkritik mantan pejabat karena tetap mempertahankan kekuasaan setelah pensiun—sebuah sindiran halus yang disepakati para analis ditujukan kepada Jiang Zemin.

Beberapa perkembangan positif muncul sebagai efek samping. Kantor 610 yang terkenal kejam dibubarkan, setidaknya sebagian, dan jaringan kamp kerja paksa yang luas ditutup. Namun, fungsi mereka dalam menekan perbedaan pendapat diambil alih oleh bagian lain dari aparat keamanan. Xi Jinping bukan menjadi pemimpin yang lebih baik—dia hanya mengambil alih kendali, kata Li.

Di bidang ekonomi, taktik untuk mengekstraksi pengetahuan Barat melalui usaha patungan yang menguntungkan digantikan oleh konglomerat didukung negara yang menekan persaingan asing. Eksploitasi sumber daya alam dan manusia Tiongkok oleh Jiang untuk kepentingan investor asing mulai berakhir—Partai akan menangani eksploitasi tersebut sendiri, menurut Li.

Doktrin Menjalin Hubungan

Amerika Serikat lambat dalam menanggapi agresi yang meningkat dari Partai Komunis Tiongkok (PKT), dan The New York Times ternyata kurang membantu dalam hal ini.

Meskipun surat kabar tersebut dengan benar mendeteksi bahwa rezim Tiongkok tidak lagi menyembunyikan kekuatannya dan menunggu waktu, mereka gagal mengidentifikasi alasan mengapa PKT sebelumnya menunggu waktu mereka, kata Thayer dan Fanell.

“Mereka tahu bahwa mereka harus jujur secara intelektual pada tingkat tertentu, tetapi apa yang tidak bisa mereka lakukan adalah menghubungkan titik-titik untuk membahas tren strategis,” kata Fanell kepada The Epoch Times.

PKT sengaja menyimpan tujuan utamanya dalam ketidakjelasan, menyajikannya sebagai “kebangkitan damai” dari kekuatan “bertanggung jawab”. Namun, jalur perkembangan tersebut tidak sulit untuk dipetakan, kata para penulis.

Alih-alih mengejar emansipasi, tujuan PKT untuk melampaui Amerika Serikat secara ekonomi dan militer mencerminkan keinginan untuk mendominasi, kata mereka.

Pembicaraan PKT tentang “kebangkitan damai” dan dunia “multipolar”, di mana Amerika Serikat, Tiongkok, dan negara-negara lain akan berbagi tanggung jawab untuk menjaga ketertiban, tidak lebih dari “asap dan sekam,” kata Fanell.

“Mereka tahu hanya akan ada satu kekuatan teratas,” katanya. “Mereka ingin menjadi kekuatan teratas di dunia. Mereka telah mengatakannya dalam banyak cara.”

Menggeser Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia terkemuka akan memberi PKT kemampuan untuk menentukan aturan politik dan perdagangan secara global, kata para penulis. Pax Americana, dengan segala kekurangannya, telah memungkinkan adanya nilai-nilai universal, kebebasan pers, kebebasan beragama, dan kebebasan ekonomi. Pax Sinica di bawah PKT tidak menjanjikan kedermawanan semacam itu, demikian para penulis memperingatkan.

“Kita mengetahui seperti apa bentuknya,” kata Fanell. “Kita melihatnya setiap hari di Tiongkok. Kontrol total. Sistem kredit sosial. Kontrol negara atas setiap aspek kehidupan Anda. Seperti itulah adanya.”

Tidak ada yang bisa menghalangi PKT dari ambisi hegemoninya, kata Thayer.

“Xi Jinping bisa saja meninggal besok. Dia bisa meninggal sore ini, dan orang yang menggantikannya tidak akan mengembalikan keadaan ke masa-masa bahagia,” katanya.

“Orang yang menggantikannya akan mempertahankan kebijakan yang sama, agresi yang sama, karena individu tersebut, pada akhirnya, jauh kurang penting dibandingkan dengan ideologi komunisme dan fakta bahwa kekuatan mereka telah tumbuh. Dan, ideologi yang terkait dengan kekuasaan inilah yang menjelaskan perilaku mereka yang semakin agresif di tingkat internasional.”

Terutama sejak pandemi COVID-19, telah terjadi kesepakatan bipartisan signifikan di Amerika Serikat bahwa ambisi PKT harus dihadapi secara langsung—sebuah strategi yang didukung oleh Thayer dan Fanell.

Akan tetapi, The New York Times tidak setuju untuk memperlakukan PKT sebagai musuh. Sebaliknya, mereka berpendapat untuk terus menjalin hubungan Tiongkok.

Tahun lalu, dewan redaksi The New York Times menulis sebuah opini berjudul “Who Benefits From Confrontation With China?” yang menyatakan bahwa “kepentingan Amerika paling baik dilayani dengan menekankan persaingan dengan Tiongkok sambil meminimalkan konfrontasi” dan bahwa “seruan lelucon dari Perang Dingin adalah salah arah.”

Kebijakan menjalin hubungan, yang membuat basis manufaktur Amerika menjadi lemah dan membantu mengubah Tiongkok menjadi musuh militer yang menakutkan, “telah menghasilkan lebih sedikit daripada yang diharapkan dan diprediksi oleh para pendukungnya,” tulis dewan tersebut. Akan tetapi, dewan itu berpendapat bahwa hubungan dengan Tiongkok “terus memberikan manfaat ekonomi yang substansial bagi penduduk kedua negara dan seluruh dunia.”

Thayer menyebut framing semacam itu sangat mengerikan.

Dia mengatakan bahwa doktrin hubungan tersebut telah memungkinkan rezim tersebut tetap bertahan di saat-saat krisis dan menghalangi upaya keruntuhannya.

“Apa yang dilakukan oleh para pemrakarsa adalah mencegah kita menyingkirkan rezim yang memuakkan ini,” katanya.
The New York Times menerbitkan sebuah bagian berjudul “China Rules” pada edisi 25 November 2018. Bagian tersebut memuat huruf-huruf Tiongkok berukuran raksasa dengan latar belakang merah dan laporan yang menyoroti Partai Komunis Tiongkok, sekaligus mengkritik Amerika Serikat. (Samira Bouaou / The Epoch Times)


Kepentingan dan Nostalgia

Kecenderungan New York Times untuk menganut doktrin menjalin hubungan dapat ditelusuri dari beberapa sumber.

Thayer mempermasalahkan koran tersebut karena “kejumudan ideologis di mana mereka menolak untuk melihat sifat rezim komunis sebagaimana adanya.”

“Mereka sama sekali tidak memiliki masalah dalam hal mengutuk rezim-rezim yang memuakkan. Hanya rezim-rezim jahat komunis yang memiliki kedunguan ideologis,” katanya.

Fanell menunjukkan bahwa The New York Times memiliki kepentingan pribadi untuk menghindari konfrontasi dengan Tiongkok karena ingin mempertahankan akses ke pasar daratan Tiongkok.

“Saya pikir itu sudah jelas,” katanya.

Setelah lama berkomitmen pada doktrin menjalin hubungan, sulit bagi para pendukungnya untuk mengakui bahwa mereka salah, tambahnya.

“Mereka sepertinya begitu terobsesi untuk mencari apa pun yang dapat mendukung tesis mereka.”

Ada juga rasa kerinduan di antara beberapa orang untuk masa Tiongkok di bawah pemerintahan Jiang—masa ketika The New York Times diizinkan berbisnis di Tiongkok dan bahkan mengkritik rezim tersebut sampai batas tertentu, selama tetap sejalan dengan garis Partai, terutama tentang Falun Gong.

“Kerinduan terasa sangat kuat” tahun lalu pada pertemuan makan siang di Council on Foreign Relations tentang Tiongkok di New York, tulis Farah Stockman, anggota Dewan Editorial The New York Times, dalam sebuah opini berjudul “Farewell to the U.S.–China Golden Age.”

“Kami beruntung bisa tinggal di Tiongkok selama periode waktu yang sangat bebas dan terbuka, belajar bahasa, berteman, menemukan pasangan, dan beberapa orang bahkan untuk sementara waktu bisa memiliki properti,” kata Ian Johnson, yang memenangkan Pulitzer pada tahun 2001 untuk serangkaian tulisan tajam tentang penganiayaan Falun Gong untuk The Wall Street Journal—sebuah fokus yang tidak ia ulangi dalam kontribusinya kemudian untuk The New York Times.

Stockman secara tidak langsung mengakui bahwa apa yang disebut “otak kepercayaan untuk kebijakan luar negeri negara tersebut” tidak menyangka perkembangan di Tiongkok yang “berubah menjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan” dan menyebabkan mereka kehilangan “visibilitas, akses, dan wawasan.”

Namun, masa “keemasan” keterbukaan Tiongkok selalu menjadi ilusi, kata beberapa ahli.

Undangan Jiang kepada para kapitalis, yang dipuji di halaman-halaman The New York Times, ternyata hanyalah tipu muslihat, kata Shum.

“Saya menyimpulkan bahwa bulan madu Partai dengan pengusaha… hanyalah taktik Leninist, yang lahir dalam Revolusi Bolshevik, untuk memecah musuh guna menghancurkannya,” tulisnya.

“Aliansi dengan pengusaha bersifat sementara sebagai bagian dari tujuan Partai untuk menguasai seluruh masyarakat. Begitu kita tidak lagi dibutuhkan… kita juga akan menjadi musuh.”

Menurut Fanell, retorika “masa keemasan” berasal dari propaganda PKT sendiri, yang kurang memiliki “rasa realitas.” Kekejaman rezim tersebut tidak pernah berhenti, begitu juga dengan arah kebijakannya.

“Tidak mengejutkan bahwa celahnya sangat lebar dan rezim, PKT, mengundang dan memberikan penghargaan yang besar kepada individu-individu yang berinteraksi, karena rezim ingin, jika Anda mau, mendapatkan keuntungan dari mereka, menggunakan mereka, menggunakan keterampilan mereka, menggunakan kemampuan mereka, menggunakan koneksi mereka sehingga citra positif dari Republik Rakyat Tiongkok bisa diproyeksikan dan… transfer pengetahuan bisa terjadi,” kata Thayer.

“Tidak mengejutkan sama sekali bahwa ketika mereka semakin tidak dibutuhkan, keterbukaan atau celah itu tertutup. Keramahan, timbal balik, hubungan yang mungkin mereka miliki berkurang.”

Bertahan dengan Ilusi

Alih-alih menghadapi kenyataan, tampaknya The New York Times berusaha menciptakan kembali ilusi “hubungan hangat” yang sebelumnya mereka nikmati.

Setelah kematian Jiang pada tahun 2022, surat kabar tersebut menulis sebuah eulogi yang menggambarkan Jiang sebagai politisi yang “cerewet” dan “menyenangkan” yang “memimpin selama dekade pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.”

Dalam sebuah langkah yang tidak biasa, editor eksekutif koran tersebut, Kahn, secara pribadi berkontribusi pada artikel tersebut – satu-satunya yang pernah ia lakukan sejak menjabat sebagai pemimpin redaksi koran tersebut pada awal tahun itu.

Obituari sepanjang hampir 3.000 kata tersebut merupakan sebuah latihan “ketidaktahuan yang disengaja,” yang menutupi warisan diktator komunis yang penuh dengan darah dan tipu daya, menurut Thayer.

Artikel tersebut menghilangkan aspek-aspek kunci dari kisah Jiang yang “memungkinkannya dilihat sebagai preman yang sebenarnya,” katanya.

Tanggungjawab Jiang atas penganiayaan terhadap Falun Gong diperhalus oleh The New York Times sebagai “intoleransi terhadap perbedaan pendapat” dan ditutup dengan satu kalimat:

“Setelah anggota sekte spiritual Falun Gong mengepung markas besar Partai Komunis dalam protes pada April 1999, Jiang mendesak untuk melakukan penahanan massal, yang kemudian menjadi pola bagi putaran penindasan berikutnya dan untuk negara yang semakin kuat dalam hal keamanan.”

Menurut FDIC, penggunaan label “sekte” adalah hal yang signifikan. Lebih dari dua dekade yang lalu, FDIC mendesak kepada surat kabar tersebut menghilangkan istilah tersebut, bukan hanya karena konotasi negatifnya, tetapi juga karena ketidakakuratan teknisnya. Falun Gong tidak muncul sebagai cabang dari agama lain, tetapi justru berasal dari praktik yang diturunkan melalui garis keturunan pribadi, yang serupa dengan banyak praktik yang mulai populer sejak tahun 1970-an di bawah istilah “qigong.”

Selain itu, deskripsi surat kabar tersebut mengenai protes tahun 1999 di kompleks kepemimpinan tertinggi PKT juga tidak akurat. Jika surat kabar tersebut menanyakan kepada peserta protes, mereka akan mengetahui bahwa para peserta sebenarnya mencari kantor pengaduan pemerintah dan aparat kepolisian yang memimpin kerumunan menuju jalan-jalan di sekitar Zhongnanhai.
Setelah kematian Jiang pada tahun 2022, editor eksekutif New York Times Joseph Kahn secara pribadi berkontribusi pada obituari yang manis. (Cuplikan layar melalui The Epoch Times, New York Times, Minghui)


Meski demikian, hal ini dianggap normal di The New York Times, yang mana sejak 2019 secara terbuka menargetkan diaspora Falun Gong di Amerika Serikat dengan serangkaian artikel hitam yang menurut FDIC, menggali beberapa ekses terburuk dari pelaporan sebelumnya.

“Istilah seperti ‘rahasia’ atau ‘berbahaya’ sering kali diulang. … Kepercayaan Falun Gong digambarkan sebagai ‘ekstrem’,” demikian laporan FDIC.

Penganiayaan PKT terhadap Falun Gong biasanya dianggap remeh dalam artikel-artikel tersebut sebagai “tuduhan” atau “klaim yang diwarnai histeria,” katanya.

Jutaan orang yang dipenjara dan dikirim ke kamp kerja paksa di Tiongkok selama seperempat abad terakhir tiba-tiba berubah menjadi “puluhan ribu … pada tahun-tahun awal penindasan.”

Mencerminkan propaganda PKT, artikel-artikel tersebut menyamakan bisnis yang dirintis oleh pengikut Falun Gong, seperti The Epoch Times, dengan Falun Gong itu sendiri, bahkan setelah perwakilan Epoch Times menjelaskan bahwa perusahaan tersebut tidak dapat dan tidak mewakili praktik tersebut.

Perbedaan ini sebenarnya akan mudah dipahami oleh The New York Times. Keluarga Sulzberger yang memimpin surat kabar tersebut adalah Yahudi, tetapi tidak berarti surat kabar tersebut berbicara untuk agama Yahudi.

Namun, meskipun surat kabar tersebut berusaha sejalan dengan kepentingan PKT, PKT menunjukkan sedikit apresiasi terhadap The New York Times.

Pada Februari 2020, The Wall Street Journal menerbitkan op-ed oleh Walter Russell Mead berjudul “China Is the Real Sick Man of Asia.” Artikel tersebut mengkritik Tiongkok karena salah menangani epidemi COVID-19 dan mempertanyakan kekuatan serta stabilitas Beijing.

PKT memprotes judul tersebut sebagai “rasis” dan merespons dengan mengusir tiga koresponden surat kabar tersebut dari Tiongkok.

Bulan berikutnya, pemerintahan Trump membatasi jumlah staf media negara Tiongkok yang berbasis di Amerika Serikat, yang mana secara de facto mengusir 60 orang.

PKT kemudian mengusir sebagian besar koresponden dari The Wall Street Journal, The Washington Post, dan The New York Times.

Pada akhir 2021, pemerintahan Biden melonggarkan pembatasan terhadap media Tiongkok di Amerika Serikat sebagai imbalan agar PKT memberikan kembali visa kepada The New York Times dan yang lainnya. Namun, PKT tampaknya lambat untuk melakukannya. Hingga 3 Mei, surat kabar tersebut sepertinya hanya memiliki dua koresponden di Tiongkok.

Ada indikasi bahwa The New York Times sedang memperkuat posisinya. Pada 16 Agustus, mereka menerbitkan artikel menyerang Shen Yun Performing Arts, sebuah perusahaan tari klasik Tiongkok yang sangat populer yang didirikan oleh praktisi Falun Gong di Amerika Serikat.

Shen Yun telah menjadi target utama PKT, menghadapi berbagai bentuk gangguan dan sabotase. Pertunjukan mereka, dengan slogan “Tiongkok sebelum komunisme,” berusaha menggambarkan budaya Tiongkok yang otentik. Beberapa tarian mereka juga menggambarkan penganiayaan terhadap Falun Gong.

Tidak jelas apakah tekanan terhadap Shen Yun akan memenangkan perlakuan yang lebih baik dari PKT terhadap surat kabar tersebut.

“Ini adalah sifat dari rezim komunis. Ketika mereka tumbuh dalam kekuasaan, mereka akan mulai menjadi lebih dingin, mereka akan menjadi lebih represif dan memperlakukan orang asing, bahkan individu yang dulunya merupakan teman lama Tiongkok, dengan cara yang sangat berbeda,” kata Thayer.

Menghadapi angin sakal ekonomi yang disebabkan oleh perlakuan buruk terhadap bisnis asing serta dampak menghancurkan dari pandemi COVID-19, rezim Xi sekali lagi mencoba menarik investasi asing.

Namun, The New York Times sudah menjadi mitra yang bersedia dalam upaya tersebut, memberikan sedikit insentif kepada Xi untuk memberikan kebebasan lebih kepada surat kabar tersebut, menurut Fanell dan Thayer.

“Xi Jinping tidak peduli sedikit pun dengan The New York Times. Dia tahu dari mana asal mereka,” kata Fanell.

“Dia bahkan tidak perlu membayar mereka.”

Artikel ini terbit di English Epoch Times dengan judul Behind the New York Times’ China Coverage, Decades of Distortion

0 comments