Jangan Sampai Kita Melupakan Pembantaian di Lapangan Tiananmen 4 Juni 1989
Seorang pria berdiri sendirian untuk memblokir barisan tank yang menuju ke timur di Jalan Perdamaian Abadi Beijing selama pembantaian Lapangan Tiananmen pada 5 Juni 1989. (Jeff Widener/AP Photo) |
DR. CHIN JIN
Pembantaian berdarah yang terjadi pada 4 Juni 1989 di Lapangan Tiananmen di Beijing, Tiongkok, akan diperingati yang ke-35. Kami mengingatnya setiap tahun, memperingatinya setiap tahun; tidak perlu diingatkan karena pembantaian berdarah itu tidak akan pernah dilupakan.
Gerakan demokrasi berskala besar itu memberikan keuntungan bagi Partai Komunis Tiongkok dengan peluang bagus untuk melakukan transisi secara damai otokrasi menuju demokrasi. Saat itu, para pelajar muda tidak menghasilkan tuntutan apa-apa terhadap kekuatan Partai Komunis Tiongkok itu sendiri. Tuntutan para pelajar muda semata-mata untuk adanya kebebasan pers dan berpendapat, hanya mengungkapkan ketidakpuasan terhadap korupsi di kalangan elit Partai Komunis Tiongkok. Minat para pelajar muda terhadap urusan-urusan nasional sebagian besar disebabkan oleh pemikiran yang tercerahkan dan semangat reformis dari kedua Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok berturut-turut, yaitu Hu Yaobang dan Zhao Ziyang. Namun, para tetua Partai Komunis Tiongkok, diwakili oleh Chen Yun, percaya bahwa tuntutan para pelajar muda untuk adanya kebebasan dan demokrasi menantang fondasi pemerintahan Partai Komunis Tiongkok. Akibatnya, kelompok garis keras Deng Xiaoping memerintahkan penindasan terhadap gerakan demokrasi dengan kekerasan. Meskipun hal ini untuk sementara menstabilkan rezim, peluang-peluang yang diberikan oleh gerakan demokrasi kepada Partai Komunis Tiongkok maupun Tiongkok adalah hilang.
Luka sejarah masih terus berdarah. Tiongkok terus-menerus menanggung akibatnya yang besar atas pembantaian itu. Permasalahan yang diminta oleh para pelajar muda untuk ditangani oleh Partai Komunis Tiongkok waktu itu tidak hilang, malah terakumulasi sepanjang sejarah. Pembantaian tersebut membuat persepsi legitimasi Partai Komunis Tiongkok semakin rapuh di mata orang-orang. Banyak yang mengatakan bahwa Partai Komunis Tiongkok kehilangan legitimasinya karena “pembantaian tanggal 4 Juni.” Saya selalu tidak setuju dengan pandangan ini. Rezim Partai Komunis Tiongkok secara paksa merebut kekuasaan dari Republik Tiongkok dengan intervensi militer Uni Soviet secara terang-terangan. Mengklaim legitimasi atas sesuatu yang diambil secara paksa itu sendiri adalah tidak masuk akal dan menggelikan. Apalagi rakyat Tiongkok tidak pernah punya kesempatan untuk mempertanyakan legitimasi dan efektivitas pemerintahan Partai Komunis Tiongkok. Secara obyektif, sejak tahun 1949, rakyat Tiongkok secara diam-diam menerima rezim baru yang dipaksakan kepada mereka, dengan demikian keberadaan rezim Partai Komunis Tiongkok paling banyak memiliki penampilan luar yang menyesatkan yang masuk akal. Namun, dalam pikiran rakyat Tionghoa, hal yang masuk akal ini dirusak secara bermakna oleh pembantaian “tanggal 4 Juni.”
Apa yang masuk akal adalah nyata, dan apa yang nyata adalah masuk akal. Hal ini dapat ditegaskan bahwa jika terjadi pergolakan politik lagi, Partai Komunis Tiongkok akan menemukan dirinya dalam posisi yang sulit, tidak mampu menyelamatkan diri. Saat itu, rakyat Tiongkok tidak akan patuh seperti pada tahun 1989 dan sangat mungkin akan merebut kesempatan untuk menggulingkan kekuasaan Partai Komunis Tiongkok.
Bila kita mengamati pembantaian 35 tahun lalu dalam konteks lanskap global, menjadi jelas bahwa tindakan-tindakan drastis yang dilakukan Deng Xiaoping untuk mempertahankan kekuasaan dan kekuatan Partai Komunis Tiongkok disambut dengan penerimaan secara diam-diam oleh Presiden Amerika Serikat pada saat itu yaitu Bush. Meskipun Partai Komunis Tiongkok sempat menghadapi isolasi diplomatik, Deng Xiaoping dengan teguh mengalahkan kelemahan Barat yang berpikiran pendek.
Kita juga harus mengklarifikasi bahwa penderitaan yang dialami oleh rakyat Tiongkok selama 75 tahun yang berada di bawah kekuasaan besi Partai Komunis Tiongkok bukanlah pilihan rakyat Tiongkok tetapi diberlakukan oleh mantan Presiden Amerika Serikat Harry Truman dan pemimpin Soviet Joseph Stalin. Pengenaan ini dimulai oleh mantan Presiden Amerika Serikat Franklin Roosevelt di mana Franklin Roosevelt berkhianat dan menjual sekutu masa perangnya, Republik Tiongkok pada Konferensi Yalta, yang mengizinkan Joseph Stalin menduduki Timur Laut Tiongkok. Kebijakan Presiden Harry Truman mengenai Tiongkok semakin membantu Partai Komunis Tiongkok dalam melakukan pembersihan di seluruh daratan Tiongkok, menjerumuskan rakyat Tiongkok ke dalam jurang kehancuran dan kerusakan akibat komunisme yang mengerikan.
Hari ini, kami mengingat tanggal 4 Juni. Meskipun kami memperingatinya setiap tahun, kami harus dengan jelas mengakui kenyataan yang pahit: dampaknya terhadap perubahan sistem otokratis Tiongkok yang ada saat ini sangatlah minim, dan hanya beresonansi dengan kelompok kecil minoritas aktivis demokrasi Tiongkok yang bertekad. Perjuangan antara rakyat Tiongkok dengan Partai Komunis Tiongkok mirip dengan pertempuran antar manusia dengan binatang buas, perang antara manusia dengan iblis, yang hampir tidak ada peluang keberhasilan atau kemenangan. Meskipun demikian, kami terus mengejar hari di mana rakyat Tiongkok dapat membebaskan dirinya dari pemerintahan otokratis brutal Partai Komunis Tiongkok dengan kegigihan.
Di bawah kepemimpinan Xi Jinping selama 12 tahun terakhir, kondisi nasional Tiongkok telah mengalami kemunduran dengan kecepatan dan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pencapaian reformasi ekonomi selama empat puluh tahun telah terkikis sepenuhnya.
Secara politis, negara ini sedang mengalami “Revolusi Kebudayaan 2.0,” mengingatkan pada era Mao Zedong. Moral sosial telah rusak, dan runtuhnya masyarakat Tiongkok dan jatuhnya rezim otokratis Partai Komunis Tiongkok secara tiba-tiba tampaknya sudah dekat. Hal ini merupakan peluang politik untuk perubahan yang bermakna di Tiongkok.
Secara kebetulan, dunia juga mulai mengalami kemunduran dan menarik diri. Amerika Serikat, negara yang pernah menjadi mercusuar demokrasi, kebebasan, dan peradaban pasca-perang yang dihormati dan dikagumi di seluruh dunia, telah runtuh secara moral. Keadilan di dunia sangat kurang, dan dunia dengan cepat terjerumus ke dalam jurang yang dalam. Hasil ini merupakan hasil dari tren global, yang didorong oleh perkembangan dan evolusi gerakan sosialis dan komunis dunia, didorong oleh kekuatan jahat, di luar kemampuan manusia untuk membalikkannya.
Ke mana arah dunia ini? Ada perasaan bahwa Tuhan sudah mengeluarkan sebuah peringatan. Jika umat manusia tidak bangkit dan mengubah arahnya, kemarahan Tuhan mungkin sekali lagi menimbulkan banjir besar untuk mencegah kerusakan manusia. (ET/vv/sun)
Dr. Chin Jin yang berbasis di Australia adalah ketua global Federasi untuk Tiongkok Demokratis. Kelompok yang membela demokratisasi Tiongkok melalui oposisi terhadap Partai Komunis dan dukungan terhadap hak asasi manusia. Didirikan setelah protes-protes Lapangan Tiananmen tahun 1989. Dr. Chin Jin sendiri mengalaminya secara langsung tragedi Lompatan Jauh ke Depan dan Kebudayaan Revolusi.
0 comments