Frustasi yang Dihadapi Beijing Setelah Kebangkrutan Sri Lanka

Pada 28 Maret 2018, Kapal pengangkut mobil Grand Aurora ditambatkan di Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka yang dioperasikan oleh China Merchants Group. Akibat beban berat utang kepada Tiongkok, Sri Lanka terpaksa menyewakan pelabuhan itu kepada Tiongkok selama 99 tahun. (Atul Loke/Bloomberg via Getty Images)


MILTON EZRATI

Kekacauan yang timbul di Sri Lanka menandakan bahwa seluruh masalahnya akan membuat kesulitan bagi Beijing. Kerugian dari memberi pinjaman kepada Sri Lanka dan di tempat lain yang tidak dapat ditarik kembali tentu saja akan menambah beban keuangan Tiongkok yang terus meningkat. Selain itu, peristiwa pailitnya keuangan pemerintah Sri Lanka akan menjadi pertanyaan bagi rezim Beijing yang selama ini bangga dengan Inisiatif Sabuk dan Jalan (One Belt One Road. OBOR). Dan kejadian di Sri Lanka ini menjadi batu sandungan bagi Beijing dalam merealisasikan rencana globalnya.

Tentu saja, Sri Lanka adalah contoh ekstrem. Tampaknya ia telah mengalami “badai sempurna”. Namun, meskipun jika masalah di tempat lain tidak seserius Sri Lanka, tetapi percayalah bahwa semua elemen yang memicu bencana di Sri Lanka itu pasti ada di seluruh negara yang sedang berkembang.

Masalah bermula dari merebaknya pandemi COVID-19, membuat Sri Lanka yang cadangan devisanya sangat bergantung pada industri pariwisata, mengalami patah tulang punggung ekonomi akibat ditutupnya lokasi pariwisata. Setelah itu, pemerintah dan bisnisnya kemudian lebih bergantung pada utang luar negeri untuk bertahan hidup. Hal ini menyebabkan masalah beban ekonomi Sri Lanka semakin serius.

Hutang yang dikenakan oleh Inisiatif Sabuk dan Jalan Tiongkok segera menjadi fokus perhatian. Seiring dengan meningkatnya beban keuangan pembayaran utang semakin sulit. Situasi menjadi sangat panas sehingga pemerintah Sri Lanka terpaksa menjual sekitar 70% dari hak mengelola pelabuhan terbesar kedua Sri Lanka, yakni Pelabuhan Hambantota kepada Tiongkok sebagai bagian dari membayar utang Sri Lanka berpartisipasi dalam proyek-proyek OBOR Tiongkok.

Bukan hanya Tiongkok yang terlibat. Sri Lanka dan banyak negara berkembang umumnya menjadi lebih bergantung pada utang, membuat semua lebih rentan terhadap kendala baru yang berlaku di pasar keuangan global.

Penekanan di Barat pada apa yang disebut environmental, social, and governance. ESG (lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan). (Catatan: ESG adalah ukuran yang digunakan oleh beberapa kaum kiri Barat untuk menilai kualitas organisasi).

Untuk meningkatkan skor ESG demi mendapatkan pinjaman, pemerintah Sri Lanka memutuskan untuk melarang penggunaan pupuk sintetis. Tindakan itu akhirnya sangat membatasi produksi teh dan beras yang merupakan komoditas ekspor utama Sri Lanka. Dengan pendapatan ekspor yang kian terbatas, Sri Lanka harus lebih mengandalkan utang.

Sementara itu, produksi beras Sri Lanka turun sekitar 20% sehingga swasembada pangan negara itu terganggu. Akibat dari semua ini adalah meningkatkan angka inflasi, yang tahun lalu mencapai 50%. Dan harga pangan telah meningkat sebesar 80%.

Jika hanya Sri Lanka saja yang mengalami krisis pembayaran utang, mungkin pengaruhnya kepada Tiongkok atau dunia tidak besar. Namun demikian, semua negara berkembang, termasuk banyak partisipan proyek OBOR Tiongkok mengalami kesulitan serupa, tetapi belum terlalu ekstrem. Kasus Pakistan adalah yang paling menonjol, tidak hanya karena skup proyeknya lebih besar dari banyak negara peserta Inisiatif Sabuk dan Jalan lainnya, tetapi Pakistan dianggap oleh Beijing sebagai negara “Mutiara” dalam proyek inisiatif itu.
Pelabuhan Gwadar di Pakistan, proyek infrastruktur bernilai miliaran dolar. Tiongkok telah berinvestasi dalam proyek tersebut sebagai bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan. (Amelie Herenstein/AFP/Getty Images)

Dari 144 negara yang berpartisipasi dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan, Pakistan sendiri menyumbang 10% dari semua utang Sabuk dan Jalan. Menurut statistik terbaru, Pakistan berutang kepada bank-bank milik negara Tiongkok sekitar USD. 25 miliar, menyita kira-kira 30% dari total utang luar negeri Pakistan, dan 40% dari modal investasi Tiongkok dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan yang nilainya mencapai USD. 60 miliar.

Masalah keuangan Pakistan tidak seserius Sri Lanka, tetapi perbedaannya terletak pada tingkatnya, bukan jenisnya. Negara ini berjuang untuk membayar kembali beban utangnya ke Tiongkok dan negara-negara lain. Tekanan pada ekonominya juga cukup kentara. Inflasi di Pakistan telah mencapai 20% selama tahun lalu, dan harga bahan bakar 90% lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

Realitas ini, yang berulang di negara berkembang, menimbulkan 2 masalah yang perlu diatasi oleh rezim Beijing.

Yang pertama murni isu finansial. Angka-angka untuk Sri Lanka, Pakistan dan seluruh Inisiatif Sabuk dan Jalan mungkin tampak kecil dibandingkan dengan kegagalan perusahaan pengembang China Evergrande membayar utang yang bernilai USD. 300 miliar. Namun selain krisis tersebut, keuangan Tiongkok juga sudah tidak lagi mampu menanggung beban di luar ini, belum lagi soal masih banyaknya perusahaan pengembang di daratan Tiongkok yang gagal membayar utang.

Bahkan sebelum orang berbicara tentang kegagalan negara berkembang dalam membayar kembali utang mereka, perbandingan utang dengan PDB Tiongkok pada akhir tahun 2020 telah tumbuh menjadi lebih dari 270%. Ini adalah salah satu negara yang memiliki rasio utang per PDB -nya tertinggi di dunia. Beban itu tidak diragukan lagi terus meningkat sejak saat itu, dan semakin tidak mungkin bisa dibayar penuh. Sistem pemerintah komunis Tiongkok yang sangat tersentralisasi dan terkendali mungkin bisa menutup-nutupi kerugian, tetapi tekanan pada utang, terutama utang yang gagal bayar, pasti akan membebani prospek ekonomi Tiongkok.

Isu kedua adalah soal nasib Inisiatif Sabuk dan Jalan. Implikasi keuangan dari inisiatif ini adalah yang kedua setelah utang domestik Tiongkok yang menggantung, tetapi sangat penting untuk ambisi global Beijing.

Dalam program tersebut, Tiongkok memperoleh pengaruh global dengan menyediakan dana yang dibutuhkan negara-negara peserta untuk membayar proyek-proyek infrastruktur yang dipimpin Tiongkok. Dengan demikian, kegagalan yang berlipat ganda di negara-negara berkembang secara alami menyebabkan negara-negara yang lebih kecil dan lebih miskin enggan untuk berpartisipasi dalam proyek OBOR. Paling tidak, kondisi belakangan ini akan memperlambat perluasan program OBOR dan mungkin malahan mengecilkannya. Ini akan membuat hampir tidak mungkin bagi Beijing untuk mendapatkan pengaruh yang dicarinya melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan, dan itu malahan memberi Beijing setumpuk utang macet.

Meski semua ini menyulitkan ekonomi, keuangan, dan diplomasi Tiongkok, tetapi tidak berarti Tiongkok akan runtuh. Seperti yang dikatakan oleh Adam Smith, seorang filsuf yang merupakan salah satu pelopor sistem ekonomi Kapitalisme : Sebuah negara dapat memiliki banyak reruntuhan. Meskipun ini tidak menandakan bencana, keadaan menunjukkan bahwa Beijing akan menghadapi kemunduran besar. Paling tidak, kepemimpinan Tiongkok sekarang akan membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai target finansial, ekonomi dan geopolitik yang mereka inginkan. (ET/sin/sun)

0 comments