24 Orang Ahli Menyerukan Investigasi Ulang Asal-Usul Virus dengan Mengabaikan Kesediaan Partisipasi Beijing
Seorang penyelidik dari tim WHO sebelumnya telah menyatakan bahwa, selama penyelidikan yang berlangsung di Tiongkok, pihak berwenang komunis Tiongkok menolak untuk memberikan data mentah kepada tim investigasi tentang kasus awal COVID-19. Hal itu telah mempersulit upaya tim untuk memahami bagaimana virus komunis Tiongkok (COVID-19) itu menyebar. Direktur Jenderal WHO, Tedros juga mengatakan minggu lalu bahwa pemerintah komunis Tiongkok yang menyita data-data tersebut.
XIA YU
Pekan lalu, tim investigasi WHO menyimpulkan dalam laporan terakhirnya, bahwa kemungkinan virus bocor dari laboratorium Wuhan didefinisikan sebagai “sangat tidak mungkin”. Selain itu, virus tersebut “sangat mungkin” ditularkan kepada manusia melalui hewan lain yang tertular oleh virus dari kelelawar. Sedangkan kemungkinan penularan virus langsung dari kelelawar ke manusia atau melalui makanan beku berada di posisi tengah, alias bisa ya bisa tidak.
Pada Rabu 7 april, sebanyak 24 orang ilmuwan dan peneliti dari Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan Jepang menyatakan dalam sebuah surat terbuka bahwa hasil investigasi WHO telah tercemar faktor politik.
Jamie Metzl, seorang rekan senior wadah pemikir, Atlantic Council menyusun surat itu. Dia menyebutkan: “Titik pangkal bagi mereka (WHO) adalah membuat kita sedapat mungkin mengalah dan mendapatkan seminimal mungkin kerjasama dengan pihak komunis Tiongkok”.
Dalam surat pernyataan itu, disebutkan bahwa kesimpulan dari penelitian ini didasarkan pada studi Tiongkok yang tidak dipublikasikan, sedangkan catatan kunci serta sampel biologis itu hingga kini masih belum bisa diperoleh.
Seorang penyelidik dari tim WHO sebelumnya telah menyatakan bahwa, selama penyelidikan yang berlangsung di Tiongkok, pihak berwenang komunis Tiongkok menolak untuk memberikan data mentah kepada tim investigasi tentang kasus awal COVID-19. Hal itu telah mempersulit upaya tim untuk memahami bagaimana virus komunis Tiongkok (COVID-19) itu menyebar. Direktur Jenderal WHO, Tedros juga mengatakan minggu lalu bahwa pemerintah komunis Tiongkok yang menyita data-data tersebut.
Tedros mengatakan, dalam diskusinya dengan tim, mereka mengatakan mengalami kesulitan dalam mendapatkan data mentah. Tedros berharap penelitian kolaboratif di masa mendatang, dapat mencakup pembagian data yang lebih tepat waktu dan komprehensif”.
Liang Wannian, seorang ahli COVID-19 senior dan kepala tim investigasi WHO dari pihak komunis Tiongkok, membantah tuduhan tersebut dan mengesampingkan investigasi bersama lebih lanjut di Tiongkok. Dia mengatakan bahwa fokus investigasi seharusnya dialihkan ke negara lain.
Jamie Metzl mengatakan bahwa tanpa partisipasi pihak komunis Tiongkok, dunia mungkin mau tidak mau memulihkan Rencana B dan melakukan penyelidikan dengan cara yang paling sistematis.
Komunis Tiongkok juga menyangkal tuduhan bahwa virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, berasal dari kebocoran laboratorium di Institut Virologi Wuhan.
Jamie Metzl mengatakan bahwa, pihak komunis Tiongkok seharusnya mengungkapkan informasi yang menyangkal hipotesis tentang kebocoran dari laboratorium. Dia mengatakan bahwa komunis Tiongkok memiliki database virus… dan catatan kerja laboratorium.
“Sebenarnya, ada berbagai ilmuwan (Tiongkok) yang melakukan pekerjaan ini, tetapi kami tidak dapat memperoleh informasi ini, dan kami juga tidak dapat menghubungi salah satu dari mereka”, katanya.
Robert Redfield, direktur CDC AS di bawah Presiden Trump mengatakan kepada CNN pada 26 Maret, bahwa dia yakin virus itu bocor dari laboratorium Wuhan, meskipun kebocoran itu belum tentu disengaja.
Sebagai pakar virologi, Robert Redfield tidak yakin bahwa virus itu ditularkan dari hewan ke manusia. Ia mengatakan bahwa, penularan virus dari hewan ke manusia dan memiliki kemampuan penyebaran yang begitu cepat antar manusia adalah suatu hal yang tidak masuk akal dalam ilmu biologi.
Juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki pekan lalu mengatakan : “Laporan (investigasi WHO)tersebut kekurangan data kunci, informasi dan hak akses. Ia juga menyajikan gambaran parsial dan tidak lengkap”.
Dia mengatakan: “Kami pikir perlu dilakukan tahap kedua dari proses ini (investigasi), yang seharusnya dan dipimpin oleh pakar internasional dan independen. Mereka seharusnya bisa memiliki akses ke data dengan tanpa batas. Mereka seharusnya dapat mengajukan pertanyaan kepada orang-orang di tempat kejadian, dan ini seharusnya merupakan langkah yang dapat diambil oleh WHO”.
Jen Psaki mengatakan bahwa, para ahli medis Amerika Serikat masih mengkaji laporan tersebut, tetapi Gedung Putih percaya bahwa laporan hasil investigasi tersebut untuk sementara tidak memenuhi syarat. (ET/sin/sun)
Pekan lalu, tim investigasi WHO menyimpulkan dalam laporan terakhirnya, bahwa kemungkinan virus bocor dari laboratorium Wuhan didefinisikan sebagai “sangat tidak mungkin”. Selain itu, virus tersebut “sangat mungkin” ditularkan kepada manusia melalui hewan lain yang tertular oleh virus dari kelelawar. Sedangkan kemungkinan penularan virus langsung dari kelelawar ke manusia atau melalui makanan beku berada di posisi tengah, alias bisa ya bisa tidak.
Pada Rabu 7 april, sebanyak 24 orang ilmuwan dan peneliti dari Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan Jepang menyatakan dalam sebuah surat terbuka bahwa hasil investigasi WHO telah tercemar faktor politik.
Jamie Metzl, seorang rekan senior wadah pemikir, Atlantic Council menyusun surat itu. Dia menyebutkan: “Titik pangkal bagi mereka (WHO) adalah membuat kita sedapat mungkin mengalah dan mendapatkan seminimal mungkin kerjasama dengan pihak komunis Tiongkok”.
Dalam surat pernyataan itu, disebutkan bahwa kesimpulan dari penelitian ini didasarkan pada studi Tiongkok yang tidak dipublikasikan, sedangkan catatan kunci serta sampel biologis itu hingga kini masih belum bisa diperoleh.
Seorang penyelidik dari tim WHO sebelumnya telah menyatakan bahwa, selama penyelidikan yang berlangsung di Tiongkok, pihak berwenang komunis Tiongkok menolak untuk memberikan data mentah kepada tim investigasi tentang kasus awal COVID-19. Hal itu telah mempersulit upaya tim untuk memahami bagaimana virus komunis Tiongkok (COVID-19) itu menyebar. Direktur Jenderal WHO, Tedros juga mengatakan minggu lalu bahwa pemerintah komunis Tiongkok yang menyita data-data tersebut.
Tedros mengatakan, dalam diskusinya dengan tim, mereka mengatakan mengalami kesulitan dalam mendapatkan data mentah. Tedros berharap penelitian kolaboratif di masa mendatang, dapat mencakup pembagian data yang lebih tepat waktu dan komprehensif”.
Liang Wannian, seorang ahli COVID-19 senior dan kepala tim investigasi WHO dari pihak komunis Tiongkok, membantah tuduhan tersebut dan mengesampingkan investigasi bersama lebih lanjut di Tiongkok. Dia mengatakan bahwa fokus investigasi seharusnya dialihkan ke negara lain.
Jamie Metzl mengatakan bahwa tanpa partisipasi pihak komunis Tiongkok, dunia mungkin mau tidak mau memulihkan Rencana B dan melakukan penyelidikan dengan cara yang paling sistematis.
Komunis Tiongkok juga menyangkal tuduhan bahwa virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, berasal dari kebocoran laboratorium di Institut Virologi Wuhan.
Jamie Metzl mengatakan bahwa, pihak komunis Tiongkok seharusnya mengungkapkan informasi yang menyangkal hipotesis tentang kebocoran dari laboratorium. Dia mengatakan bahwa komunis Tiongkok memiliki database virus… dan catatan kerja laboratorium.
“Sebenarnya, ada berbagai ilmuwan (Tiongkok) yang melakukan pekerjaan ini, tetapi kami tidak dapat memperoleh informasi ini, dan kami juga tidak dapat menghubungi salah satu dari mereka”, katanya.
Robert Redfield, direktur CDC AS di bawah Presiden Trump mengatakan kepada CNN pada 26 Maret, bahwa dia yakin virus itu bocor dari laboratorium Wuhan, meskipun kebocoran itu belum tentu disengaja.
Sebagai pakar virologi, Robert Redfield tidak yakin bahwa virus itu ditularkan dari hewan ke manusia. Ia mengatakan bahwa, penularan virus dari hewan ke manusia dan memiliki kemampuan penyebaran yang begitu cepat antar manusia adalah suatu hal yang tidak masuk akal dalam ilmu biologi.
Juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki pekan lalu mengatakan : “Laporan (investigasi WHO)tersebut kekurangan data kunci, informasi dan hak akses. Ia juga menyajikan gambaran parsial dan tidak lengkap”.
Dia mengatakan: “Kami pikir perlu dilakukan tahap kedua dari proses ini (investigasi), yang seharusnya dan dipimpin oleh pakar internasional dan independen. Mereka seharusnya bisa memiliki akses ke data dengan tanpa batas. Mereka seharusnya dapat mengajukan pertanyaan kepada orang-orang di tempat kejadian, dan ini seharusnya merupakan langkah yang dapat diambil oleh WHO”.
Jen Psaki mengatakan bahwa, para ahli medis Amerika Serikat masih mengkaji laporan tersebut, tetapi Gedung Putih percaya bahwa laporan hasil investigasi tersebut untuk sementara tidak memenuhi syarat. (ET/sin/sun)
0 comments