Ahli: Tampaknya Lockdown Total untuk Melawan Epidemi Bukan Langkah yang Benar
Lockdown kota tidak efektif dalam mengendalikan epidemi, dan tetap menjalankan ekonomi terbuka juga tidak akan memicu kenaikan dalam epidemi. -- TREND MACRO Perusahaan informasi asal AS
LI YAN
Kebijakan lockdown secara total kerap diterapkan guna mencegah penyebaran virus PKT (Partai Komunis Tiongkok atau virus corona Wuhan) oleh sebagian negara. Sebuah artikel yang diterbitkan media New York Post menyebutkan bahwa langkah lockdown total untuk melawan epidemi mungkin bukan cara yang benar.
Michael Barone, seorang analis politik yang konservatif, sejarawan, ahli, dan jurnalis Amerika Serikat, pada Minggu, 6 September 2020, menerbitkan sebuah artikel pada media New York Post dengan judul “Mungkin Lockdown untuk Melawan Penyebaran Epidemi adalah Tindakan yang Salah Besar”. Lockdown secara nasional sebenarnya adalah tindakan inovatif untuk mencegah penyebaran virus yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Ia menunjukkan bahwa flu Asia yang terjadi dari 1957 hingga 1958, telah membunuh 70.000 hingga 116.000 orang warga AS (0,04 hingga 0,07%) populasi AS. Flu Hong Kong yang mengganas dari 1968 hingga 1970, membunuh sekitar 100.000 warga AS (0,05%) dari populasi. Namun, “kita tidak pernah menanggapi wabah dengan me-lockdown negara”.
Penulis menunjukkan bahwa 186.000 orang warga AS meninggal akibat virus PKT, yang merupakan 0,055% dari populasi saat ini. Jumlah ini akan terus meningkat, tetapi serupa dengan dampak dari dua influenza di atas pada manusia, dan untuk orang yang berusia di bawah 65 tahun, tingkat kematiannya lebih rendah daripada influenza.
Namun, flu sebelumnya tidak menyebabkan tindakan lockdown berskala besar. Tidak juga sampai menangguhkan pelajaran di sekolah. Gedung perkantoran, pabrik, restoran, museum, dan sebagainya. Semuanya dibiarkan tetap buka melanjutkan kegiatan.
Lalu mengapa sikap terhadap virus PKT ini sangat berbeda pada hari ini? Analisis dalam artikel tersebut menunjukkan bahwa salah satu alasannya mungkin karena orang sekarang menjadi semakin percaya pada ilmu pengetahuan dan percaya pada kemampuan campur tangan pemerintah. Jika kebijakan publik dapat dirumuskan untuk memengaruhi perubahan iklim, maka virus juga dapat dihilangkan melalui tindakan administratif.
Oleh karena itu, niat pemerintah yang awalnya ingin “meratakan kurva” telah menjadi sarana “membasmi virus” secara logis.
Penulis menunjukkan bahwa fakta telah membuktikan tindakan yang disebut “perlindungan pembalasan” mungkin tidak benar-benar mencapai hasil melindungi. Kesimpulan perusahaan informasi Trend Macro setelah analisis data adalah: Lockdown kota tidak efektif dalam mengendalikan epidemi, dan tetap menjalankan ekonomi terbuka juga tidak akan memicu kenaikan dalam epidemi.
Setelah menganalisis data yang relevan, perusahaan tersebut menemukan bahwa ibu kota AS, Washington, D.C., New York, Michigan, New Jersey, Massachusetts, dan tempat lain yang menekankan lockdown kota, justru menjadi tempat dengan jumlah kasus terkonfi rmasi virus PKT terbesar di negara tersebut. Arizona, California, Florida, Texas dan negara bagian lainnya mengalami rebound terkuat, tetapi mereka ini justru bukan negara bagian dengan perekonomian paling terbuka.
Para pemimpin yang menerapkan lockdown, terus menerus mengklaim bahwa mereka mengikuti ilmu pengetahuan, tetapi efek dari pendekatan ini mungkin dapat mengurangi penyebaran virus secara langsung, tetapi hal itu membawa lebih banyak kerugian. Misalnya, karena lockdown, skrining kanker, pengobatan serangan jantung, dan konseling penyalahgunaan obat malahan terhambat yang dapat menyebabkan kematian pasien dalam jumlah besar, serta dampak ekonomi yang disebutkan di bawah ini.
Artikel tersebut mengutip artikel Greg Ip yang dimuat di Wall Street Journal minggu lalu, menyebutkan bahwa lockdown demi mencapai pencegahan terlalu kaku dan mahal. Pernyataan tersebut secara tidak langsung telah mendukung pernyataan yang pernah disampaikan Presiden Trump pada pertengahan bulan April lalu: “Lockdown jangka panjang dan tekanan ekonomi yang dipaksakan akan menyebabkan kerusakan besar dan meluas pada kesehatan masyarakat”.
Artikel tersebut menunjukkan bahwa Korea Selatan, Taiwan, Selandia Baru, dan negara-negara pulau lainnya tidak mengadopsi tindakan lockdown yang ekstrim, tetapi mereka justru menjadi model pencegahan epidemi yang berhasil.
Akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa dalam menghadapi pandemi, pemerintah mungkin dapat berperan sebagai pemandu, tetapi ia tidak pernah dapat sepenuhnya mengontrol alam dan tidak dapat sepenuhnya menghilangkan risiko. Ketika mencoba untuk mengurangi sebuah risiko, dapat meningkatkan risiko lainnya. Dalam ketidakpastian ini, orang akan melakukan kesalahan, seperti halnya menerapkan lockdown. (et/sin/sun)
0 comments