Hilang Ketergantungan pada Ekonomi AS, Kejayaan RRT Sulit Diraih
Baru-baru ini, Gedung Putih telah merilis United States Strategic Approach to The People’s Republic of China. Laporan strategis yang membuat penilaian dan kritikan secara menyeluruh atas kebijakan RRT pada bidang ekonomi, perkembangan militer, aktivitas penyebaran informasi fiktif, serta pelanggaran HAM, dan banyak bidang lainnya, mengakui kebijakan interaksi terhadap RRT selama beberapa dekade terakhir ini telah gagal, maka itu memutuskan mengubah kebijakan terhadap RRT, mengambil tindakan tekanan, menahan ekspansi RRT di bidang ekonomi, militer, dan politik, serta berbagai bidang lainnya.
Kondisi seperti ini akan merugikan pihak manakah? Tentu saja RRT, ini adalah realita. Karena faktanya, tanpa kebijakan AS pasca Kissinger yang menganut “interaksi, kerjasama, pengaruhi, ubah”, tidak ada pula upaya beberapa presiden AS sejak Clinton yang menjadikan RRT dari “rekan kerjasama ekonomi” lalu meningkat menjadi “rekan kerjasama strategis”, dan menambahkan kata “penting” di depannya, membuka lebar-lebar pintu gerbang AS, membiarkan RRT bebas keluar masuk, maka tidak mungkin RRT dapat menjadi negara ekonomi terbesar kedua di dunia.
Beijing Menyombongkan Ekonomi Dunia Tergantung pada RRT, Tapi Lupa kepada Siapa RRT Tergantung
Penulis pernah merilis membahas RRT yang menyombongkan ketergantungan ekonomi berbagai negara di dunia terhadap Tiongkok, serta sukses mengubah ketergantungan ekonomi ini menjadi ancaman politik, tapi justru lupa sesungguhnya RRT sendiri merupakan negara langka sumber daya yang sangat tergantung pada Negara-negara lain, walaupun RRT merupakan pembeli terbesar hasil tambang, produk pertanian, dan produk industri dari negara lain, merupakan negara investor terbesar di Afrika, juga gemar menebar uang membeli pe-ngaruh, seperti tahun ini telah tiga kali berturut-turut memberikan sumbang-an berupa cek dalam dolar AS untuk WHO dengan nilai besar, tapi semua pengeluaran dana tersebut, sepenuhnya mengandalkan cadangan devisa asing yang teramat besar.
Jika bukan surplus yang teramat besar dari perdagangan AS-RRT, serta modal AS yang menyeberang lautan dengan membawa banyak uang datang ke Tiongkok, maka cadangan devisa itu tidak akan sedemikian besar, dan jika ada yang merasa berang membaca sampai di sini, mohon bersabar, silahkan lihat data berikut ini:
Data Ungkap Ketergantungan RRT Terhadap Ekonomi AS
Di kala banyak orang mengira cadangan devisa asing adalah aset milik pemerintah RRT atau kekayaan milik rakyat Tiongkok, penulis pernah menjelaskan, yang dimaksud cadangan devisa adalah, setiap sen cadangan devisa itu terhubung dengan hutang, adalah bank sentral RRT “meminjamnya” dari berbagai rekening tabungan dalam dolar AS, dari perusahaan perdagangan asing, dan juga investasi asing di Tiongkok, lewat mekanisme pengawasan valuta asingnya. Surplus perdagangan asing RRT, terutama berasal dari perdagangan dengan AS (sebelum perang dagang AS-RRT, lebih dari 90%, ingat angka ini); modal AS juga merupakan investasi asing yang terbesar di Tiongkok, masyarakat internasional umumnya memprediksi pasca pandemi berbagai negara akan “melepaskan kaitan” dengan RRT, sebenarnya yang terutama melepas keterkaitan adalah Amerika Serikat, dan mau tidak mau diikuti oleh negara lain --- dilihat dari keinginan subjektif, negara yang perekonomiannya sangat tergantung pada RRT, tidak ada satupun yang berinisiatif melepaskan keterkaitannya, Jerman sampai saat ini masih berupaya mempertahankan hubungannya dengan RRT, berharap industri otomotifnya dapat mengandalkan RRT untuk menyambung nyawanya.
Setelah melalui upaya pembinaan dan penyerapan pasca reformasi keterbukaan, tentu pemerintah RRT memiliki banyak sekali orang berbakat, tapi untuk fakta yang paling jelas dan mudah dimengerti di atas, tidak ada seorang pun berani menjelaskannya pada “paduka saat ini”. Ingat pada tanggal 6 April 2017 silam Ketika kedua pemimpin negara bertemu di Mar-a-Lago Resort di Florida, mulut emas Xi Jinping mengatakan “ada seribu alasan untuk membina hubungan baik dengan Amerika”, Departemen Propaganda RRT bahkan masih memuji-muji titah baginda ini, dan lantunan pujian itu sayup-sayup masih terdengar, namun sudah berubah sikap ingin memusuhi AS dengan segala cara, sama sekali telah melupakan dari mana asalnya cadangan devisa Tiongkok sebesar 3 Triliun USD di dalam gudang uang itu.
Data kuat topang fakta ketergantungan RRT terhadap AS
Ketergantungan ekonomi RRT terhadap AS, dibahas dari hal yang utama, termasuk ketergantungan teknologi, ketergantungan sistem finansial, dan ketergantungan surplus perdagangan. Masalah ketergantungan teknologi bisa ditulis panjang lebar, disini hanya akan disebut satu contoh, Thousand Talents Plan yang mencakup para pencuri teknologi (para peneliti, akademisi dlsb yang berasal dari RRT yang saat ini terutama bekerja di perguruan tinggi, juga di perusahaan swasta dan pemerintah, Red.), lebih 90% diantaranya berada di dalam lembaga riset perguruan tinggi AS; ketergantungan sistem finansial, walaupun RRT berniat meng-globalisasi mata uang RMB-nya, tapi sejak menjadi salah satu dari lima mata uang devisa IMF, pengaruh RMB di tengah masyarakat internasional bukannya menguat justru menurun (saya pernah menulis artikel, memaparkan perubahan penggunaan mata uang RMB dalam perdagangan setiap negara dan saling tukar mata uang).
Dalam artikel ini hanya mengemukakan surplus dagang RRT yang besar dari negara mana saja:
Surplus dagang RRT terhadap AS selama bertahun-tahun sangat besar, di tahun 2017 sebelum perang dagang AS-RRT dimulai, surplus dagang RRT terhadap AS adalah USD 275,8 Miliar (4.042 triliun Rupiah). Pada Maret 2018 perang dagang AS-RRT dimulai, tapi surplus dagang RRT terhadap AS tidak menurun bahkan meningkat. Pada Juni 2019, AS mengumumkan data, bahwa defisit perdagangan global AS turun sebesar 1,7% atau sekitar USD 616,8 Miliar, adalah pertama kalinya menurun sejak 2013. Tapi hanya defisit perdagangan dengan RRT saja sudah hampir USD 420 Miliar (6.155 triliun Rupiah), atau lebih 67% dari total defisit perdagangan asing AS. Melihat dari pihak RRT, total surplus perdagangan tahun tersebut mencapai RMB 2,92 Triliun, berdasarkan nilai tukar rata-rata tahunan dari bank sentral 1 dolar AS = RMB 6,89 maka setara dengan USD 423,6 Miliar. Dengan kata lain, surplus dagang RRT, selain USD 4 Miliar (58,6 triliun Rupiah) yang menyedihkan itu berasal dari perdagangan dengan negara lain, selebihnya terutama masih bersumber dari Amerika.
Mengenai data perdagangan kedua negara di tahun 2018, masih ada suatu perdebatan. Setelah pihak AS mengumumkan data tersebut, agar tidak menyinggung AS dengan angka surplus dagang yang amat besar itu, Wakil Menteri Perdagangan RRT yang merangkap sebagai Deputi Perwakilan Perundingan Dagang Internasional yakni Wang Shouwen mengatakan, defisit perdagangan AS terhadap RRT saat ini hanya USD 150 Miliar lebih, sama sekali bukan USD 410 Miliar seperti yang disebutkan (begitu yang tertulis di naskah aslinya, sengaja mengurangi USD 10 Miliar dari data yang disebutkan AS), pihak AS telah membesarkan angka defisit dagang dengan RRT. Keesokan harinya, AS merilis dokumen membantah hal ini, telah memastikan data yang dihitung. Mengapa terdapat perbedaan? Ternyata, yang dihitung oleh pihak AS termasuk produk “Made in China” yang diputar melalui negara atau wilayah lain seperti Hong Kong, Taiwan, dan Asia Tenggara, dengan menempelkan “produksi dari negara itu” lalu kemudian diekspor lagi ke AS --- bertahun-tahun berurusan dengan RRT, AS telah banyak belajar (kelicikan pihak lawan), sedangkan RRT hanya menghitung “Made in China” yang diekspor langsung ke AS.
Perdebatan surplus dagang ini tidak perlu dibicarakan lagi. Disini hanya memberikan semacam gambaran bagi pembaca, betapa besarnya ketergantungan ekonomi RRT terhadap AS: RRT mengatakan USD 150 Miliar, AS mengatakan USD 420 Miliar, selisih keduanya mencapai USD 270 Miliar. Seberapa besar angka ini? Ada dua angka bisa sebagai referensi: PDB Finlandia 2018 sekitar USD 270 Miliar, nilai perdagangan antara AS dengan Jepang adalah sekitar USD 218 Miliar.
Kehilangan ketergantungan pada AS, tren ekonomi RRT makin merosot
Melihat akibat perang dagang AS-RRT selama 2 tahun terakhir ini, perekonomian RRT mengalami tren kemerosotan telah menjadi kenyataan:
1. Cadangan devisa asing menyusut, dan sudah di ambang bahaya.
Mengapa RRT begitu peduli pada cadangan devisa, pernah dibahas penulis di tahun 2016 dalam artikel “Perang Benteng Ekonomi RRT: Pertahankan Cadangan Devisa”. Selama ini RRT sangat tergantung pada perdagangan dengan AS untuk menstabilkan pendapatan devisanya, sementara perang dagang AS-RRT kian intens, ekspor RRT ke AS mulai merosot, jadi apakah RRT akan mengalami keterbatasan devisa, menjadi pertanyaan yang sangat dicermati oleh pelaku moneter internasional dan kalangan menengah di dalam negeri. Pelaku finansial internasional umumnya berpendapat, cadangan devisa RRT saat ini sebesar USD 3 Triliun (43.963 triliun Rupiah) itu adalah ambang batas bahaya RRT mempertahankan keseimbangan pendapatan internasionalnya, jika cadangan devisa ini jatuh di bawah batas tersebut, maka RRT akan mengalami kekurangan devisa.
Pada umumnya jika orang melihat angka cadangan devisa USD 3 Triliun yang sedemikian besar akan mengira, mana mungkin RRT mengalami krisis devisa? Sebenarnya dari cadangan devisa sebesar itu, 5/6 bagiannya tidak bisa digunakan sekehendak hati, karena ada pemiliknya, bisa dipinjam untuk sesaat, tapi tidak bisa untuk jangka waktu lama; sisanya 1/6 bagian itu masih jauh dari cukup. Untuk memahami kondisi yang lebih jelas, bisa merujuk pada artikel tulisan Cheng Xiaonong yang berjudul “Di Balik Melemahnya RMB: Misteri Cadangan Devisa RRT” (Mandarin Radio SBS, 8 Desember 2019).
Lalu, mengapa cadangan devisa RRT harus dipertahankan di sekitar level USD 3,1 Triliun? Karena RRT menggunakan satu jurus, dengan bunga tinggi menarik lembaga investasi asing agar mau membeli surat utang RRT, dengan metode transaksi swap untuk mempertahankan jumlah cadangan devisanya. Pasca Trump masuk ke Gedung Putih, modal AS yang mengalir kembali sekitar USD 1 Triliun, namun akibat konflik internal kedua partai di AS, dimana Partai Demokrat melakukan segala cara memakzulkan Trump, sebanyak hampir USD 500 Miliar belum diinvestasikan dalam bentuk sektor riil, hanya bergerak di bursa efek dan obligasi saja, dan tidak sedikit yang diinvestasikan di pasar obligasi Tiongkok. Menurut data dari pemerintah RRT, hingga akhir Desember 2019, lembaga investasi asing yang memiliki surat utang RRT mencapai RMB 21,8 Triliun --- dengan kata lain, di dalam cadangan devisa dan investasi modal asing RRT itu lebih dari USD 300 Miliar merupakan surat utang seperti ini.
Data kuat topang fakta ketergantungan RRT terhadap AS
Ketergantungan ekonomi RRT terhadap AS, dibahas dari hal yang utama, termasuk ketergantungan teknologi, ketergantungan sistem finansial, dan ketergantungan surplus perdagangan. Masalah ketergantungan teknologi bisa ditulis panjang lebar, disini hanya akan disebut satu contoh, Thousand Talents Plan yang mencakup para pencuri teknologi (para peneliti, akademisi dlsb yang berasal dari RRT yang saat ini terutama bekerja di perguruan tinggi, juga di perusahaan swasta dan pemerintah, Red.), lebih 90% diantaranya berada di dalam lembaga riset perguruan tinggi AS; ketergantungan sistem finansial, walaupun RRT berniat meng-globalisasi mata uang RMB-nya, tapi sejak menjadi salah satu dari lima mata uang devisa IMF, pengaruh RMB di tengah masyarakat internasional bukannya menguat justru menurun (saya pernah menulis artikel, memaparkan perubahan penggunaan mata uang RMB dalam perdagangan setiap negara dan saling tukar mata uang).
Dalam artikel ini hanya mengemukakan surplus dagang RRT yang besar dari negara mana saja:
Surplus dagang RRT terhadap AS selama bertahun-tahun sangat besar, di tahun 2017 sebelum perang dagang AS-RRT dimulai, surplus dagang RRT terhadap AS adalah USD 275,8 Miliar (4.042 triliun Rupiah). Pada Maret 2018 perang dagang AS-RRT dimulai, tapi surplus dagang RRT terhadap AS tidak menurun bahkan meningkat. Pada Juni 2019, AS mengumumkan data, bahwa defisit perdagangan global AS turun sebesar 1,7% atau sekitar USD 616,8 Miliar, adalah pertama kalinya menurun sejak 2013. Tapi hanya defisit perdagangan dengan RRT saja sudah hampir USD 420 Miliar (6.155 triliun Rupiah), atau lebih 67% dari total defisit perdagangan asing AS. Melihat dari pihak RRT, total surplus perdagangan tahun tersebut mencapai RMB 2,92 Triliun, berdasarkan nilai tukar rata-rata tahunan dari bank sentral 1 dolar AS = RMB 6,89 maka setara dengan USD 423,6 Miliar. Dengan kata lain, surplus dagang RRT, selain USD 4 Miliar (58,6 triliun Rupiah) yang menyedihkan itu berasal dari perdagangan dengan negara lain, selebihnya terutama masih bersumber dari Amerika.
Mengenai data perdagangan kedua negara di tahun 2018, masih ada suatu perdebatan. Setelah pihak AS mengumumkan data tersebut, agar tidak menyinggung AS dengan angka surplus dagang yang amat besar itu, Wakil Menteri Perdagangan RRT yang merangkap sebagai Deputi Perwakilan Perundingan Dagang Internasional yakni Wang Shouwen mengatakan, defisit perdagangan AS terhadap RRT saat ini hanya USD 150 Miliar lebih, sama sekali bukan USD 410 Miliar seperti yang disebutkan (begitu yang tertulis di naskah aslinya, sengaja mengurangi USD 10 Miliar dari data yang disebutkan AS), pihak AS telah membesarkan angka defisit dagang dengan RRT. Keesokan harinya, AS merilis dokumen membantah hal ini, telah memastikan data yang dihitung. Mengapa terdapat perbedaan? Ternyata, yang dihitung oleh pihak AS termasuk produk “Made in China” yang diputar melalui negara atau wilayah lain seperti Hong Kong, Taiwan, dan Asia Tenggara, dengan menempelkan “produksi dari negara itu” lalu kemudian diekspor lagi ke AS --- bertahun-tahun berurusan dengan RRT, AS telah banyak belajar (kelicikan pihak lawan), sedangkan RRT hanya menghitung “Made in China” yang diekspor langsung ke AS.
Perdebatan surplus dagang ini tidak perlu dibicarakan lagi. Disini hanya memberikan semacam gambaran bagi pembaca, betapa besarnya ketergantungan ekonomi RRT terhadap AS: RRT mengatakan USD 150 Miliar, AS mengatakan USD 420 Miliar, selisih keduanya mencapai USD 270 Miliar. Seberapa besar angka ini? Ada dua angka bisa sebagai referensi: PDB Finlandia 2018 sekitar USD 270 Miliar, nilai perdagangan antara AS dengan Jepang adalah sekitar USD 218 Miliar.
Kehilangan ketergantungan pada AS, tren ekonomi RRT makin merosot
Melihat akibat perang dagang AS-RRT selama 2 tahun terakhir ini, perekonomian RRT mengalami tren kemerosotan telah menjadi kenyataan:
1. Cadangan devisa asing menyusut, dan sudah di ambang bahaya.
Mengapa RRT begitu peduli pada cadangan devisa, pernah dibahas penulis di tahun 2016 dalam artikel “Perang Benteng Ekonomi RRT: Pertahankan Cadangan Devisa”. Selama ini RRT sangat tergantung pada perdagangan dengan AS untuk menstabilkan pendapatan devisanya, sementara perang dagang AS-RRT kian intens, ekspor RRT ke AS mulai merosot, jadi apakah RRT akan mengalami keterbatasan devisa, menjadi pertanyaan yang sangat dicermati oleh pelaku moneter internasional dan kalangan menengah di dalam negeri. Pelaku finansial internasional umumnya berpendapat, cadangan devisa RRT saat ini sebesar USD 3 Triliun (43.963 triliun Rupiah) itu adalah ambang batas bahaya RRT mempertahankan keseimbangan pendapatan internasionalnya, jika cadangan devisa ini jatuh di bawah batas tersebut, maka RRT akan mengalami kekurangan devisa.
Pada umumnya jika orang melihat angka cadangan devisa USD 3 Triliun yang sedemikian besar akan mengira, mana mungkin RRT mengalami krisis devisa? Sebenarnya dari cadangan devisa sebesar itu, 5/6 bagiannya tidak bisa digunakan sekehendak hati, karena ada pemiliknya, bisa dipinjam untuk sesaat, tapi tidak bisa untuk jangka waktu lama; sisanya 1/6 bagian itu masih jauh dari cukup. Untuk memahami kondisi yang lebih jelas, bisa merujuk pada artikel tulisan Cheng Xiaonong yang berjudul “Di Balik Melemahnya RMB: Misteri Cadangan Devisa RRT” (Mandarin Radio SBS, 8 Desember 2019).
Lalu, mengapa cadangan devisa RRT harus dipertahankan di sekitar level USD 3,1 Triliun? Karena RRT menggunakan satu jurus, dengan bunga tinggi menarik lembaga investasi asing agar mau membeli surat utang RRT, dengan metode transaksi swap untuk mempertahankan jumlah cadangan devisanya. Pasca Trump masuk ke Gedung Putih, modal AS yang mengalir kembali sekitar USD 1 Triliun, namun akibat konflik internal kedua partai di AS, dimana Partai Demokrat melakukan segala cara memakzulkan Trump, sebanyak hampir USD 500 Miliar belum diinvestasikan dalam bentuk sektor riil, hanya bergerak di bursa efek dan obligasi saja, dan tidak sedikit yang diinvestasikan di pasar obligasi Tiongkok. Menurut data dari pemerintah RRT, hingga akhir Desember 2019, lembaga investasi asing yang memiliki surat utang RRT mencapai RMB 21,8 Triliun --- dengan kata lain, di dalam cadangan devisa dan investasi modal asing RRT itu lebih dari USD 300 Miliar merupakan surat utang seperti ini.
2. Tren investasi luar negeri melemah.
Menurut Reuters yang mengutip data pemerintah Jerman, tahun lalu investasi RRT di Jerman telah jauh merosot jatuh keluar dari posisi tiga besar yakni setelah Amerika, Inggris dan Swiss. Pada 11 Mei lalu Komisi Nasional Hubungan AS-RRT bersama dengan firma konsultan ekonomi AS yakni Rhodium Group merilis laporan, yang menjelaskan tren penurunan investasi RRT di Amerika telah menunjukkan tren merosotnya sejak sebelum virus Corona melanda. Tahun 2019, investasi langsung RRT di Amerika setiap musimnya rata-rata adalah USD 2 Miliar, namun triwulan pertama tahun 2020, investasi langsung RRT di AS telah hampir berhenti total, hanya sebesar USD 200 Juta. Namun perusahaan AS meng-umumkan investasi di RRT pada kuartal pertama 2020 sebesar USD 2,3 Miliar, hanya sedikit lebih rendah dibandingkan rata-rata per kuartal di tahun 2019. Di Twitter saya menjelaskan, investasi RRT di Jerman dan AS menurun, faktanya itu adalah reaksi dari menyusutnya cadangan devisa dengan cepat.
3. Sembilan negara keluarkan RMB dari “Currency Reciprocal Agreement”.
Pandemi pneumonia Wuhan melanda seluruh dunia, semua negara terisolasi di sektor ekonomi riil akibat “lockdown”, tapi fenomena “deglobalisasi” ekonomi riil ini justru memicu semakin kuatnya kebutuhan akan mata uang USD, sampai terjadi “krisis dolar AS”. Untuk menyelesaikan masalah ini, pada 19 Maret lalu Amerika telah menandatangani kesepakatan pertukaran mata uang (currency reciprocal agreement, red.) dengan bank sentral Korea Selatan, Australia, Brazil, Meksiko, Singapura, dan Swedia, masing-masing senilai USD 60 Miliar; juga dengan bank sentral Denmark, Norwegia, dan Selandia Baru, masing-masing senilai USD 30 Miliar. Berdurasi setidaknya 6 bulan hingga 19 September 2020. Sebagai salah satu dari lima besar mata uang global utama yang ditetapkan IMF, mata uang RMB sama sekali tidak ada dalam kesepakatan tersebut. Tentu saja RRT juga mencium nuansa berbahaya itu, pada akhir April lalu, bank sentral RRT mengeluarkan mata uang digital (DCEP), yang digembar-gemborkan sebagai mata uang digital supranational yang pertama dan terbesar di seluruh dunia, yang akan menandingi supremasi mata uang dolar AS -- namun tidak didikte oleh penguasa lembaga finansial dunia yakni AS, mata uang digital seperti ini adalah cara RRT menghibur diri.
Trump pernah mengatakan, AS telah membentuk kembali RRT, tapi RRT tidak terima, dan berulang kali menentang. Tapi melihat lagi sejarah dengan hati tenang, sikap AS terhadap RRT memang menentukan bisa atau tidaknya RRT mendapatkan kesempatan untuk berkembang, serta seberapa besar peluang untuk berkembang itu, juga menentukan posisi internasional RRT.
Pada Agustus 1949, Kemenlu AS merilis “Buku Putih Hubungan AS-RRT”, yang secara mendalam membahas kegagalan AS di Tiongkok pasca Perang Dunia II (dan menjelang terdepaknya pemerintahan Nasionalis ke pulau Taiwan, Red.), sejak saat itu, RRT pun “mandiri” di luar tatanan internasional yang dipimpin oleh AS selama lebih dari dua dekade, sampai-sampai Mao Zedong pun terpaksa mengakui RRT pada saat itu “miskin dan melarat”, bahkan untuk makan pun sulit. Hingga akhirnya RRT kembali menjalin hubungan diplomatik dengan AS (pada 1 Januari 1979), secara bertahap diarahkan kembali ke dalam tatanan internasional, barulah RRT memiliki prestasi ekonomi seperti sekarang ini.
Kesalahan pemerintah RRT adalah salah memperkirakan situasi, dan telah meninggalkan prinsip “low profile” ala Deng Xiao-ping, selalu ingin menandingi Amerika. Dalam gesekan hubungan AS-RRT yang semakin intens selama dua tahun terakhir ini, Amerika akan menarik bahu tempat RRT biasa bersandar, setelah kehilangan sandaran ini RRT masih tetap ngotot tidak mau mengakuinya, dan akhirnya mengalami musim dingin yang parah di bidang ekonomi. (et/sud)
0 comments