Kaum ekstrim kiri memanfaatkan kematian warga kulit hitam AS George Floyd untuk memprovokasi kerusuhan di puluhan kota, membakar, merampok, merusak, dan menganiaya, seketika asap hitam menyelimuti.
Mayoritas orang Amerika sama sekali tidak tahu menahu bahwa “Black Lives Matter” juga merupakan organisasi komunisme, dan mayoritas aksi menentang Trump, dikendalikan oleh komunisme di baliknya.
YANG WEI
Pada 26 Mei lalu, terjadi aksi unjuk rasa di negara bagian Minnesota AS, kemudian aksi tersebut meluas hingga setidaknya 17 negara bagian lainnya, dan dengan cepat berkembang menjadi kerusuhan dengan aksi anarkis. Pada 31 Mei Presiden Trump bercuit di Twitter, menyatakan hendak mendefinisikan Antifa sebagai organisasi teroris. Di hari yang sama, Jaksa Agung AS William Barr juga menyatakan, organisasi Antifa beserta kelompoknya sedang memprovokasi kerusuhan. Dari foto dan video yang beredar di internet, masyarakat juga melihat, Antifa telah menciptakan dan memprovokasi aksi pengrusakan kendaraan, toko, merampok, membakar, dan menyerang warga lain serta berbagai tindak kekerasan lainnya.
Kekerasan dan kematian Floyd
Sumbu penyulut aksi unjuk rasa adalah kematian warga Minnesota bernama George Floyd dalam proses penegakan hukum oleh polisi. Namun meluas dan meningkatnya unjuk rasa menjadi aksi kekerasan, justru telah membuat keluarga Floyd merasa tidak tenang. Pada 31 Mei lalu, adik laki-laki George Floyd yakni Terrence Floyd berkata, “Kadang kala saya juga bisa marah, saya juga ingin melampiaskan kemarahan, tapi saya masih ada disini, kakak saya bukan orang seperti itu, kakak saya cinta damai.” Ia juga menambahkan, “Jangan merusak kota kalian ini, tidak perlu seperti itu, keluarga dan orang terdekat Floyd juga tidak melakukannya, mengapa kalian harus melakukan ini?”
Penilaian berbagai media massa terhadap Antifa
Terhadap Antifa, mayoritas orang Amerika pun tidak begitu mengenali mereka, semua orang terheran-heran, mengapa aksi kekerasan ini bisa terjadi, seperti apa para anggota Antifa itu? Oleh sebab itu, berbagai media massa pun mulai menelusuri Antifa.
BBC memberitakan, asal muasal gerakan sejumlah kelompok Antifa dapat ditelusuri sampai para penganut anti-fasisme di tahun 1920 dan 1930, gerakan anti-fasisme modern di AS dimulai pada era 1980-an. Hingga awal tahun 2000, gerakan Antifa pada dasarnya berada dalam kondisi tidur, hingga akhirnya Trump dan kaum sayap kanan telah bangkit.
Anggota Antifa mengatakan, mereka berasal dari latar belakang politik yang berbeda, namun mereka serempak menentang fasisme, dan memiliki kecenderungan anti pemerintah. Mereka tengah menemukan gerakan yang membentuk pemisahan dengan kebijakan Trump. Mereka biasanya mengenakan busana hitam, kadang kala mengenakan masker atau helm untuk menutupi wajah, agar tidak bisa dikenali oleh kelompok penentang atau oleh polisi. Antifa menggunakan bentuk organisasi komunitas yang lebih konvensional, seperti berkumpul atau pawai unjuk rasa, fraksi yang paling ekstrim membawa senjata seperti semprotan merica, belati, batu dan rantai besi. Kadang-kadang mereka berseteru secara langsung dengan kelompok sayap kanan di jalanan, dan sukses menunda, atau mempersingkat bahkan menggagalkan berkumpulnya dan pidato kalangan sayap kanan.
Fox News memberitakan, kelompok Antifa yang pertama versi modern bisa ditelusuri pada tahun 2007 di kota Portland negara bagian Oregon, hari ini belasan tahun kemudian, kota tersebut menjadi lahan subur bagi aktivitas banyak anggota Antifa, mereka mengancam dan menyerang wartawan dengan brutal, mengumumkan seluruh polisi harus dibunuh atau setidak-nya dipecat. Putra dari jaksa negara bagian Minnesota Keith Ellison pada saat terjadi kerusuhan menulis di akun Twitter-nya, bahwa dirinya mendukung Antifa.
Hasil pengamatan akademisi peneliti Komunisme
Pada 4 November 2017, ormas radikal kiri yang anti-Trump, seminggu menjelang genap setahun Trump menjabat sebagai presiden, menggelar aksi pawai unjuk rasa di New York, Los Angeles, Chicago, San Francisco dan lebih dari 20 kota lainnya, Antifa juga turut ambil bagian.
Waktu itu radio Sound of Hope sempat mewawancarai penulis asal Selandia Baru yang berdiam di Amerika sekaligus seorang aktivis politik yang bernama Trevor Loudon, yang telah meneliti komunisme dan sosialisme selama lebih 30 tahun. Ia mengatakan, baru-baru ini media massa AS sering mengungkit soal “anti-fasisme” atau Antifa, Presiden dan para pendukungnya dipandang sebagai kaum penganut fasisme. Hal ini sepertinya baru muncul setelah Trump menjabat sebagai presiden, kelompok yang menyatakan dirinya “anti-fasisme” itu, beranggapan semua orang Partai Republik dan seluruh pendukung Trump, juga orang yang mendukung agar perbatasan dan imigran gelap harus diawasi ketat, serta orang yang mendukung nilai universal Amerika, semua adalah orang-orang fasis. Maka, mereka pun menentang Trump, menentang pemerintah Amerika dan juga Partai Republik.
Waktu itu Loudon juga mengatakan, pada 4 November 2017, mereka menggelar aksi unjuk rasa bersifat nasional, menginisiasi aksi anarkis menggulingkan pemerintahan Trump, mereka secara terbuka menyebutkan hal itu. Walaupun jumlah mereka tidak banyak, tapi mereka bergabung dengan ormas komunis lainnya, dan mereka memiliki senjata, serta pernah dilatih tindak kekerasan. Mereka bahkan mungkin membuat kerusuhan bersama dengan ormas “Black Lives Matter”, 4 November itu mungkin hanya permulaan. Loudon mengatakan, di antara mereka ada yang terkait dengan asosiasi tertentu, seperti “Demokrat Sosialisme Amerika” (DSA), ada pula yang terkait dengan serikat buruh sayap kiri, ada yang langsung terkait dengan Partai Demokrat.
Loudon menjelaskan, panji organisasi Antifa adalah sabit dan kapak, mirip lambang komunis Soviet. Antifa dibentuk di Jerman pada tahun 1930, sempat bentrok dengan NAZI yang dipimpin Hitler, namun NAZI berhasil mengalahkan Antifa, mereka adalah dua kelompok mafia yang memperebutkan kekuasaan, mereka selalu bergaya diktator, sama-sama melarang kebebasan berpendapat, anti-Amerika, juga berniat menjadi penguasa. Loudon juga menambahkan, media massa tidak memberitakan latar belakang ini, mayoritas orang Amerika sama sekali tidak tahu menahu bahwa “Black Lives Matter” juga merupakan organisasi komunisme, dan mayoritas aksi menentang Trump, dikendalikan oleh komunisme di baliknya. Mereka ingin membuat kehidupan warga sipil AS menjadi rusuh.
Terakhir Loudon memperingatkan, orang dari berbagai penjuru dunia datang ke Amerika, penyebab utama-nya adalah karena Amerika merupakan negara bebas, tapi orang-orang yang telah menikmati kebebasan dan kemakmuran Amerika ini juga kemudian menjadi lengah. Semua orang tidak menyadari bahwa ideologi komunisme selama ini selalu eksis di Amerika seperti sebuah arus bawah yang tidak terlihat. Karena media massa tidak memberitakannya, mengakibatkan warga AS generasi ini tidak tahu betapa menakutkannya gerakan ini, mereka juga tidak tahu demokrasi telah dikendalikan oleh komunisme, mereka pun mengikuti arus ini memberikan suara bagi partai yang kedengarannya cukup baik, tanpa sama sekali tahu betapa parah akibatnya. Harus dipikirkan cara untuk menyebarkan informasi ini kepada seluruh warga AS.
Bukti kuat dari Kemenlu PKT
Saat terjadi kerusuhan di AS, media massa RRT yang paling antusias. Seluruh media partai menghindari pidato penting Presiden Trump terkait hubungan AS-RRT, tapi terus membombardir penontonnya dengan berita-berita kerusuhan di AS. Juru bicara Kemenlu RRT Hua Chunying bahkan menulis cuitan, “Saya tidak bisa bernafas”, yang langsung dikritik oleh Menlu AS Pompeo.
Pada 8 Juni lalu, pada konferensi pers rutin yang dilangsungkan Kemenlu RRT, seorang wartawan dari kantor berita Perancis AFP bertanya, “Aksi protes di seluruh dunia terhadap polisi AS menegakkan hukum dengan kekerasan dan diskriminasi ras terus berlanjut, namun hingga kini di RRT tidak pernah terjadi aksi unjuk rasa. Bagaimana Anda menilai hal ini? Jika rakyat Tiongkok ingin menyatakan dukungannya dengan cara berunjuk rasa, apakah pihak RRT akan memotivasinya?” Pertanyaan seperti ini sama sekali di luar dugaan, seketika itu Hua Chunying tidak bisa menjawab, hanya buru-buru merespon tidak sesuai pertanyaannya, hal ini memaparkan kemunafikan Hua Chunying, tidak berani menyinggung fakta terkait penindasan di Tiongkok maupun aksi unjuk rasa damai di Hong Kong, di tengah kepanikan itu tidak lagi memperdulikan pernyataan yang baru saja dilontarkannya sendiri untuk “tidak campur tangan urusan dalam negeri”, serta “semoga pihak AS mendengarkan suara hati rakyatnya dengan seksama”.
Yang ikut serta dalam gerakan anti-Trump itu, tidak hanya di dalam negeri Amerika saja, tapi juga sampai ke seberang samudra. Perang dalam pilpres AS, tak hanya sekedar persaingan sayap kiri dan sayap kanan saja, terlebih lagi merefleksikan perseteruan AS dengan PKT. Semua ini, baru saja dimulai. (et/sud/sun)
0 comments