Ilustrasi (Foto : Usatoday) | lifestyle.okezone.com |
Sejak mengglobalnya pandemi Pneumonia Wuhan (Covid-19), warga Tiongkok yang tersebar di negara-negara Barat mengalami sentimen anti-Tiongkok, anti-Asia atau yang selama ini dikenal dengan istilah sinophobia. Contoh kasusnya di Italia, sebagai salah satu negara di Benua Eropa yang memiliki populasi warga Tiongkok terbanyak, mengkonfirmasi dua kasus terkait sinophobia.
Sepasang warga Tiongkok yang baru tiba di Milan dari Wuhan pada libur Tahun Baru Imlek awal tahun ini mengalami sentimen anti-Tiongkok.
Di Milan, juga terdapat larangan bagi warga setempat untuk tidak datang ke restoran-restoran dan toko-toko Tiongkok.
Direktur Sekolah Musik Santa Cecilia, Roberto Giuliani, sekolah musik tertua di dunia yang berada di Roma, dikritik oleh koleganya setelah aksinya yang berkaitan dengan sinophobia.
Giuliani memberitahu muridnya yang berasal dari Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan untuk tidak masuk kelasnya sebelum memastikan mereka aman dari virus corona.
Media La Repubblica di Italia juga memublikasikan foto yang menunjukkan sebuah kafe di Roma memasang spanduk bertuliskan, “Semua orang yang datang dari Tiongkok dilarang masuk”.
Padahal, lebih dari 300.000 orang Tiongkok tinggal di Italia dan sebanyak lima juta orang mengunjungi negara ini pada 2018.
Dilansir dari The Guardian, Marco Wong, penasihat lokal di Kota Prato, sebuah rumah bagi populasi orang Tiongkok memaparkan bahwa orangtua tidak mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah apabila terdapat murid lain yang berasal dari Tiongkok.
Di tempat-tempat di mana orang Tiongkok merupakan minoritas - seperti Eropa, Amerika Serikat dan Australia - sinophobia tampaknya dihasut oleh stereotip berbahaya yang mengklasifikasikan orang Tiongkok sebagai kotor dan tidak beradab. Headline seperti “New Yellow Peril”, “Tiongkok Virus Pandamonium” dan “Tiongkok kids stay home” telah lazim di surat kabar Barat. Pelajar Tiongkok mengalami pemukulan di Inggris; Warga Tiongkok diblokir dari hotel dan restoran, serta dijauhi oleh transportasi umum; dan web dihiasi dengan meme mengejek tentang coronavirus.
Di Singapura dan Malaysia, ratusan ribu orang telah menandatangani petisi yang menuntut larangan total terhadap warga negara Tiongkok untuk memasuki negara mereka - dan pemerintah kedua negara telah melaksanakan beberapa bentuk larangan masuk. Di Jepang, beberapa orang menjuluki orang Tiongkok sebagai “ahli bioteroris”, sementara teori konspirasi tentang mereka yang menginfeksi penduduk lokal, terutama muslim, telah mendominasi di Indonesia.
Apa sebenarnya Sinophobia itu? Sinophobia atau Sentimen anti-Tiongkok adalah sentimen terhadap Tiongkok, rakyatnya, Tionghoa perantauan, atau budaya Tiongkok yang biasanya menargetkan minoritas Tiongkok yang tinggal di luar Tiongkok dan melibatkan imigrasi, pengembang-an identitas nasional di negara-negara tetangga, perbedaan kekayaan, sistem anak sungai pusat masa lalu (jaringan hubungan internasional yang berfokus pada Tiongkok yang memfasilitasi perdagangan dan hubungan luar negeri dengan mengakui peran dominan Tiongkok di Asia Timur atau sistem upeti), hubungan mayoritas-minoritas, warisan imperialis, dan rasisme. Sinophobia ini sudah muncul berabad-abad yang lalu.
Tentu saja, sinophobia tidak di semua negara. Penduduk di Amerika Selatan, Afrika, dan Eropa Timur memandang Tiongkok lebih positif. Lawan dari Sinophobia adalah Sinophilia yang memandang positif terhadap Tiongkok.
Akhir-akhir ini sebenarnya pandangan dunia terhadap Tiongkok terbelah. Sebuah survei berjudul “People Around The Globe are divided in Their Opinion about Tiongkok”, yang dirilis oleh Pew Research pada September 2019 menemukan pandangan dunia terhadap Tiongkok terbelah tapi pada titik keseimbangan yang negatif. Median 40% di 34 negara yang disurvei memiliki pendapat yang positif tentang Tiongkok, dibandingkan dengan median 41% yang memiliki pendapat yang tidak negatif.
Dan, sementara mayoritas di sebagian besar negara setuju pengaruh Tiongkok di panggung dunia telah tumbuh secara nyata, ini belum tentu diterjemahkan ke dalam pandangan yang menguntungkan dari negara itu, menurut survei terhadap 38.426 orang yang dilakukan 13 Mei hingga 2 Oktober 2019.
Pendapat tentang orang Tiongkok di sebagian besar Eropa Barat, pada keseimbangan, negatif. Sementara 51% di Yunani memiliki pandangan positif tentang Tiongkok, pluralitas atau mayoritas di semua negara Eropa Barat lainnya memiliki pandangan yang tidak menguntungkan, mulai dari 53% di Spanyol hingga 70% di Swedia. Pangsa orang yang mengevaluasi Tiongkok secara positif juga telah turun dua digit di hampir setengah dari negara-negara Eropa Barat yang disurvei, termasuk Swedia (turun 17 poin persentase), Belanda (-11 poin) dan Inggris (-11). Hanya di Yunani dan Italia ada peningkatan pendapat.
Eropa Tengah dan Timur agak lebih terbagi dalam penilaian mereka. Lebih banyak orang Bulgaria, Polandia, dan Lithuania memiliki pandangan yang baik tentang Tiongkok, dan Hongaria hampir terbagi rata. Sebaliknya, pluralitas orang Slovakia dan mayoritas orang Ceko memiliki pandangan yang tidak baik terhadap Tiongkok.
Pandangan negatif tentang Tiongkok mendominasi di Amerika Serikat dan Kanada, di mana 60% dan 67% masing-masing melihat negara itu tidak menguntungkan. Di kedua negara, ini adalah pendapat paling tidak menguntungkan dari Tiongkok yang tercatat dalam sejarah polling Center. Ini juga mencerminkan perubahan tahun-ke-tahun terbesar di kedua negara. Sebagai contoh, di Kanada, pendapat yang tidak menguntungkan meningkat 22 poin setelah penangkapan pejabat tinggi perusahaan teknologi Huawei dan penahanan Tiongkok berikutnya atas dua warga negara Kanada yang masih tetap dalam tahanan Tiongkok.
Tiongkok juga menerima nilai yang tidak baik dari sebagian besar tetangganya di kawasan Asia-Pasifik. Di Jepang, 85% mengatakan mereka memiliki pendapat yang tidak disukai tentang Tiongkok - yang paling negatif di antara semua negara yang disurvei.
Lebih dari setengahnya di Korea Selatan (63%), Australia (57%) dan Filipina (54%) berbagi sentimen ini. Opini Tiongkok juga jatuh di seluruh wilayah selama pemungutan suara Pew Research Center dan sekarang melayang di atau dekat posisi terendah bersejarah di masing-masing negara yang disurvei. Di Indonesia, perubahan selama setahun terakhir sangat mencolok, turun 17 poin persentase.
Rusia menonjol karena memiliki pandangan paling positif tentang Tiongkok di semua negara yang disurvei (71% mendukung). Mayoritas di Ukraina juga berbagi pandangan ini (57%).
Mayoritas atau kemajemukan di hampir semua negara Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika sub-Sahara yang disurvei memiliki pandangan yang baik terhadap Tiongkok, termasuk 70% yang memiliki pendapat yang menguntungkan di Nigeria.
Orang yang lebih muda cenderung memiliki sikap yang lebih positif terhadap Tiongkok di sebagian besar negara yang disurvei. Di 19 negara, orang dewasa berusia 18 - 29 tahun memiliki pandangan yang lebih baik daripada mereka yang berusia 50 tahun ke atas. Di Brasil, misalnya, dua pertiga (67%) orang dewasa muda memiliki pandangan yang baik tentang Tiongkok, sementara hanya 40% orang dewasa yang lebih tua berbagi pendapat itu. Kesenjangan usia yang besar juga ada di Lithuania (di mana pandangan orang dewasa yang lebih muda 25 poin lebih menguntungkan), Meksiko (+23 poin), Indonesia (+21), Australia (+21), Polandia (+21) dan Ukraina (+20) .
Namun, di banyak negara, mereka yang berusia 50 dan lebih tua juga cenderung tidak memberikan pendapat tentang Tiongkok. Sekitar sepertiga atau lebih dari orang dewasa yang lebih tua di Indonesia, India, Ukraina, Argentina, Meksiko, Tunisia dan Brasil tidak memberikan pendapat ketika datang ke Tiongkok.
Dunia tak bisa bedakan Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok
Sinophobia sebenarnya warisan berabad-abad tahun yang lalu. Namun semenjak revolusi besar kebudayaan di Tiongkok oleh partai komunis Tiongkok 1949 sinophobia lebih sering terjadi. Tiongkok tradisional yang mempunyai sejarah 5.000 tahun yang kaya dengan warisan budaya adiluhung warisan dewata dihancurkan demi mewujudkan impian komunisme. Orang Tiongkok sebelum dan sesudah revolusi kebudayaan sangat jauh berbeda. Keberadaban, kesantunan, eleganitas tergerus dari kepribadian orang Tiongkok berubah menjadi budaya kasar kaum proletar.
Revolusi kebudayaan bisa dipandang sebagai bencana budaya dari kebudayaan Tiongkok yang adiluhung, sebuah upaya masif untuk melepaskan miliaran orang Tiongkok dari akar budayanya. Semenjak itu setiap sepuluh tahun PKT berulang kali melakukan gerakan yang mirip dengan revolusi kebudayaan untuk agar konversi ini sempurna agar orang Tionghoa sebagai anak langit menjadi prajurit naga merah komunisme. Pembunuhan massal, penipuan, pembangkitan patriotisme semu yang berulang-ulang, dan konflik yang tak pernah berhenti walau di masa damai. Pembantaian Mahasiswa di Tiananmen, penindasan Falun Gong, dan penahanan massal Muslim Uighur adalah bagian dari hobi PKT untuk menyebarkan ideologi teror kepada seluruh rakyatnya sementara itu mencoba memoleskan wajah bengisnya dengan propaganda yang memoles citra.
Adanya dunia yang terbelah tentang rezim komunis Tiongkok itu juga bagian dari teknik propaganda yang masif yang mencoba mengelabui dunia untuk melihat wajah aslinya. (Lihat: Beijing Global Megaphone, sebuah laporan lengkap bagaimana PKT mencuci otak dunia). PKT memang tidak menginginkan orang di dunia bisa membedakan orang Tiongkok dengan PKT. Sebab dengan itu PKT bisa mengapitalisasi sentimen Sinophobia untuk membangkitkan patriotisme semu di daratan, sehingga dia tidak kehilangan kekuasaannya. Ini berarti satu miliar lebih orang Tiongkok daratan adalah korban dari rezim komunis Tiongkok yang mengeksplotasi mereka untuk pelanggengan kekuasaannya.
Demo Hongkong berbulan-bulan menampakkan kepada dunia wajah asli rezim komunis kepada dunia. Pandemi virus PKT (Covid-19) sebenarnya mempunyai efek penelanjangan wajah asli PKT baik bagi rakyat daratan maupun dunia internasional. Demi memoles wajahnya yang buruk rupa terlihat berusaha menutupi dengan menyembunyikan fakta pandemi yang akhirnya jadi bencana global. Setelah wajah aslinya mulai terlihat malah berusaha mengkambinghitamkan negara lain.
Pada titik ini bukan Sinophobia yang seharusnya ada di hati dunia internasional tapi harusnya CCP-phobia. Bukan orang Tiongkok daratan yang harus ditakuti tapi Partai Komunis Tiongkok. Nilai universal mengajarkan bahwa nilai manusia tidak dilihat pada warna kulit dan rasnya tapi keluhuran budaya dan karakternya. PKT bisa mengorbankan siapa saja bahkan rakyatnya sendiri. Pada titik ini ketika bisa membedakan antara rakyat Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok berarti sekali mendayung tiga pulau terlampaui yaitu bisa membebaskan rakyat Tiongkok dari rezim komunis, membebaskan dunia dari lingkaran setan kebencian yang tiada akhir, dan membuat dunia terbebas dari iblis komunisme.
Gerakan pemunduran global (Tuidang) yang berhasil membuat 365 juta orang rakyat daratan mundur dari keanggotaan partai bisa dilihat sebagai gerakan pembebasan dan penyelamatan rakyat Tiongkok dari cengkraman rezim iblis ini. Dan orang di luar Tiongkok sepatutnya mendukung gerakan ini dengan gerakan menginvestigasi, meminta pertanggung jawaban dan memaki rezim komunis ini agar segera lenyap dari dunia bebas. Bukan untuk menginspirasi kekerasan atau mengangkat senjata untuk revolusi kekerasan tapi upaya damai agar PKT tidak punya pasaran sehingga runtuh dengan sendirinya. Ingat Bukan Sinophobia, tapi CCP-phobia.
Sinophobia membawa kita pada insting barbar dan rasis, tapi CCP-phobia membawa kita ke dunia bebas yang beradab dan diberkahi Tuhan. (et)
0 comments