Beijing Dialog di Muka Mengacau di Belakang, Sulit Cegah Balasan AS
Hari Rabu (17/6) lalu, Menlu AS Pompeo melangsungkan pertemuan dengan pejabat diplomatik senior sekaligus anggota Politbiro PKT yakni Yang Jiechi di Hawaii. (GETTY IMAGES)
Setelah serangkaian tindakan balasan keras dari pemerintah Trump, Beijing pun mengajukan permintaan dialog tingkat tinggi dengan AS. Pada 17 Juni lalu, Menlu AS Pompeo melangsungkan pertemuan dengan anggota Komite Politbiro PKT sekaligus Kepala Komisi Hubungan Luar Negeri Pusat RRT yakni Yang Jiechi di Hawaii, dari pernyataan dan penjelasan pasca pertemuan, kedua belah pihak belum mencapai kesepakatan apa pun.
Pertama adalah pertimbangan pamor, pernyataan Beijing menyebutkan Yang Jiechi “memenuhi undangan” dari pihak AS untuk berdialog, sedangkan menurut berita yang diungkapkan oleh anggota kongres AS, pertemuan ini diutarakan lebih dulu oleh pihak Beijing, tujuannya di satu sisi dengan memberikan janji tertentu kepada AS, dapat menunda pembalasan dan diberlakukannya sanksi, bahkan berharap AS menyetujui prasyarat yang belum diungkapkan kepada pihak luar. Dan di sisi lain terus bersandiwara di depan rakyat dan masyarakat dunia, agar dapat menutupi kelemahan PKT. Bisa dibayangkan, dari kredibilitas PKT sebelumnya, apa pun janji yang telah diberikan oleh Beijing, Amerika tidak akan mudah percaya pada PKT, akan mendengarkan pernyataannya dan mengamati tindakannya.
Kedua adalah media massa Beijing menggunakan kata “dialog” dan bukan “pertemuan” atau “tatap muka”, kemungkinan karena mengisyaratkan begitu banyaknya masalah antara PKT dengan AS, hubungan kedua pihak sudah bukan lagi buruk, dialog hanya untuk memaparkan pandangan masing-masing pihak, tidak peduli dengan tercapai kesepakatan atau tidak. Ini menjelaskan pihak Beijing sudah siap mental Yang Jiechi akan pulang dengan tangan hampa.
Ketiga, dari pernyataan yang dilontarkan, kedua pihak saling bertukar pandangan, masing-masing meluruskan kembali sikap atas sejumlah persoalan. Pompeo menekankan kepentingan AS, serta kesetaraan kedua negara dalam hal bisnis, keamanan dan interaksi diplomatik. Di samping itu, ia juga menekankan dibutuhkannya tingkat transparansi dan berbagi informasi terkait pemberantasan “virus PKT” yang menyebar di seluruh dunia saat ini dan penyebaran pandemi di masa mendatang. Sementara media massa PKT masih seperti biasanya memuat kata-kata yang kurang konkrit, dengan mengatakan kali ini adalah “dialog yang bersifat membangun”, “kedua pihak sepakat mengambil tindakan mewujudkan kesepahaman yang dicapai pemimpin kedua negara”, “kedua pihak setuju akan menjaga hubungan dan komunikasi” dan lain sebagainya.
Masing-masing mengeluarkan pernyataan berbeda, menandakan AS tidak menyambar umpan yang dilontarkan Beijing, tipuan Beijing tidak efektif, sementara bagi pihak AS, sepertinya telah lebih lanjut memahami sinyal tertentu dari internal PKT.
Dialog tanpa hasil tentunya membuat Beijing tidak senang, terpaksa terus memainkan sisi pura-pura kuat di hadapan rakyat. Dalam siaran di CCTV pada hari pertemuan, PKT terus menghujat AS, juru bicara Kemenlu RRT saat menjawab pertanyaan wartawan tentang masalah Hong Kong, Taiwan dan Xinjiang mengatakan, Yang Jiechi menyatakan “tekad untuk mendorong UU keamanan nasional di Hong Kong tak tergoyahkan”, “menentang tindakan intervensi AS terhadap masalah Hong Kong, menentang pernyataan menlu negara G7 terkait masalah Hong Kong” dan lain sebagainya.
Tidak diragukan, petinggi Beijing walaupun tahu bahwasanya menerapkan UU Keamanan Nasional versi Hong Kong akan menimbulkan dampak sangat besar terhadap perekonomiannya, namun tetap bersikeras melakukannya, jika bukan karena tidak tahu atau ceroboh, berarti mereka memang berharap kehancuran PKT segera tiba. Dengan pemahaman pemerintah AS terhadap PKT saat ini, begitu UU Keamanan Nasional itu diterapkan di Hong Kong, tidak hanya perusahaan dan orang pribadi yang meninggalkan Hong Kong akan semakin banyak, sanksi dari AS dan sekutu Barat juga akan diterapkan satu persatu, termasuk sanksi terhadap pejabat tinggi PKT dan juga Hong Kong. Akibatnya apakah Beijing benar-benar mengira dengan menutup negaranya, maka akan dapat menahan sanksi-sanksi tersebut?
Mungkin, Beijing bersikeras dengan sikap ini karena mengira dengan cara-cara licik dapat mengacaukan AS dan Eropa, dan mengalihkan perhatian AS, demi mencapai tujuannya.
Sehari dua hari sebelum pertemuan Pompeo dengan Yang Jiechi, telah terjadi dua kejadian aneh. Kejadian pertama adalah pada 16 Juni lalu, tiba-tiba Korea Utara meledakkan Kantor Penghubung di Kaesong, serta memutus seluruh saluran komunikasi kedua negara, menyusul pihak militer Korut secara sepihak mengumumkan penempatan kekuatan militer di Zona Demiliterisasi Korea (Kumgangsan dan kawasan industri Kaesong), membangun lagi pos penjagaan yang telah dibongkar, mengaktifkan kembali latihan militer di perbatasan Korut dan Korsel, serta memperkuat penjagaan militer terhadap Korea Selatan. Aksi kegilaan Korea Utara ini telah mengakibatkan semakin memanasnya situasi kedua negara.
Kejadian lainnya adalah pada 15 Juni lalu, konflik di perbatasan RRT-India meningkat, menewaskan setidaknya 20 orang serdadu India. Kemudian berita CCTV menyebutkan Brigade Gabungan 76 PKT membawa lebih dari 100 unit kendaraan tank tipe 99 ke lokasi, sementara PM India Narendra Modi berkata tidak akan berkompromi dalam hal wilayah kedaulatan.
Di balik aksi kegilaan Korut sulit dibayangkan tanpa adanya campur tangan PKT, tujuannya adalah mengalihkan perhatian AS dengan masalah di Semenanjung Korea, melemahkan hantamannya terhadap PKT. Tapi AS jelas telah melihat maksud Beijing dan Pyongyang. Kemenlu AS memberikan peringatan mendesak Korut agar “tidak mengambil langkah yang justru akan merugikannya sendiri”. Sementara meningkatnya konflik perbatasan RRT-India, dari segi waktu sepertinya suatu kebetulan, namun belum tentu kebetulan, tak tertutup kemungkinan PKT memanfaatkannya untuk mengalihkan perhatian AS, namun dengan reaksi keras Modi seharusnya Beijing juga merasa gentar.
Selain itu, belum lama ini di balik kematian warga kulit hitam George Floyd di AS yang memicu aksi kekerasan di puluhan kota seluruh AS, juga terdapat bayang-bayang PKT. Melihat media massa PKT yang gencar mempropagandakan “kerusuhan” dan “hilang kendalinya” Amerika, bisa diketahui betapa PKT sangat abnormal. Purnawirawan brigadir jenderal AU Amerika sekaligus pakar strategi masalah Tiongkok yakni Brigjen Robert Spalding dalam cuitan di Twitter mengatakan, “Aksi (kerusuhan) mereka mendapat dukungan dari PKT, Rusia, dan kelompok reaksionis lainnya, ini tidak ada hubungannya dengan negara kita, tapi berkaitan dengan negara lain yang hendak melihat Amerika dihancurkan.” Trump dalam Twitternya juga mengisyaratkan adanya unsur PKT di balik kerusuhan tersebut.
Menariknya adalah, pada saat mengacaukan Amerika, lewat kantor berita Bloomberg, PKT mengutarakan kebohongannya terhadap Amerika: PKT mendukung Trump terpilih kembali, sebenarnya Biden lah orang yang paling ditakuti PKT, dan inilah salah satu bagian dari perang informasi PKT terhadap Amerika.
Bisa dibayangkan, di mata PKT yang sama sekali tidak berprinsip, baik dialog secara terang-terangan atau pun propaganda, bahkan mengacau di belakang, semuanya hanya demi satu tujuan, yakni melumpuhkan Amerika, mengacaukan Amerika, dan menghancurkan demokrasi di Amerika. Tapi yang membuat PKT takut adalah, dari penyebaran “virus PKT” pemerintahan Trump telah melihat sifat asli PKT, tidak akan mudah percaya pada janji apa pun dari PKT. Seperti dikatakan mantan penasihat strategi Gedung Putih Stephen K. Bannon pada 18 Juni lalu di “war room”, alasan pertemuan Pompeo dan Yang Jiechi yang diajukan oleh PKT adalah karena “kondisi mereka saat ini sangat sulit, dan mereka berniat mempertahankan rezimnya.”
Namun, harapan PKT itu ditakdirkan akan gagal, apa pun jurus yang dikerahkan PKT, pemerintah Trump telah bertekad tidak akan membatalkan serangan penuhnya terhadap PKT, baik dalam hal pandemi, perang dagang, perang teknologi 5G, termasuk juga agama kepercayaan, pengusiran wartawan, UU Keamanan Nasional versi Hong Kong dan lain sebagainya. Yang bisa dibuktikan adalah, selama pertemuan Pompeo dan Yang Jiechi, Trump telah menandatangani undang-undang, memberikan sanksi bagi pejabat PKT yang telah menindas suku Uyghur. Dan pada hari kedua pasca perundingan itu, di Twitter Trump menyatakan “Amerika telah memiliki opsi kebijakan untuk sepenuhnya melepaskan keterkaitan dengan PKT”. Apakah Zhongnanhai masih saja tidak bisa melihat jalan di depannya? (et/sud/sun)
0 comments