Lebih Banyak Negara Jatuh ke Perangkap Utang Partai Komunis Tiongkok Pasca COVID-19
Seorang pekerja Tiongkok membawa bahan-bahan untuk jalur rel pertama yang menghubungkan Tiongkok ke Laos, pada 8 Februari 2020. |
Emel Akan
Melalui Belt and Road Initiative (BRI), Partai Komunis Tiongkok (PKT) menggelontorkan pinjaman miliaran dollar AS ke negara-negara berpenghasilan rendah untuk membantu membangun proyek infrastruktur mereka secara massif. Kini ketika dilanda pandemi COVID-19, kekhawatiran tentang krisis utang yang menjulang meningkat di negara-negara berkembang. Pasalnya, sebagian besar dari negara-negara itu sudah takluk di bawah utang besar kepada Partai Komunis Tiongkok.Diluncurkan pada 2013, Belt and Road Initiative (BRI), yang juga disebut sebagai “One Belt, One Road” atau “New Silk Road,” adalah salah satu program pembangunan paling ambisius dan kontroversial di dunia.
Dalam beberapa tahun terakhir, inisiatif ini dianggap sebagai “perangkap utang”, karena praktik peminjaman predator Beijing.
Menurut laporan Institute of International Finance (IIF) pada 14 Mei 2020, BRI berkontribusi pada pembengkakan utang luar negeri di banyak negara berpenghasilan rendah.
Selama dua dekade terakhir, Partai Komunis Tiongkok menjadi pemberi pinjaman global utama, dengan utang melebihi $ 5,5 triliun pada 2019, lebih dari 6 persen produk domestik bruto (PDB) global, sebagaimana diungkapkan laporan IIF.
BRI memainkan peran penting dalam mendorong kegiatan peminjaman Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir, menjadikan Beijing kreditor terbesar di dunia untuk negara-negara berpenghasilan rendah.
Menurut laporan itu, sejak diluncurkan, inisiatif tersebut mengarahkan lebih dari $ 730 miliar untuk investasi luar negeri dan proyek konstruksi di lebih dari 112 negara.
Di antara negara-negara BRI, Djibouti, Ethiopia, Laos, Maladewa, dan Tajikistan dinilai “berisiko tinggi tertekan utang” oleh Dana Moneter Internasional (IMF), yang berarti mereka cenderung gagal bayar atau mengatasi masalah utang besar mereka.
Selain itu, sebuah studi akademik baru-baru ini yang diterbitkan oleh Kiel Institute for the World Economy menunjukkan bahwa pinjaman luar negeri Tiongkok mungkin lebih tinggi dari yang dilaporkan. Studi tersebut mengatakan bahwa hingga 50 persen pinjaman Tiongkok “tersembunyi”, karena tidak dilaporkan kepada IMF atau Bank Dunia.
Praktik peminjaman non-transparan Tiongkok memperbesar kerentanan utang di negara-negara miskin. Di tengah bayang-bayang krisis keuangan, Sri Lanka saat ini menimbun lebih banyak utang Tiongkok.
Meskipun negara yang dililit utang harus menghasilkan $ 4,8 miliar pembayaran pinjaman tahun ini, negara itu sudah mencapai kesepakatan dengan Partai Komunis Tiongkok untuk setidaknya $ 1 miliar dalam pinjaman tambahan, menurut laporan Nikkei Asian Review.
Sri Lanka sering disebut sebagai contoh nyata soal terperangkap dengan utang Tiongkok. Sehingga dipaksa untuk menyerahkan aset strategis kepada Komunis Tiongkok.
Sebuah BUMN Komunis Tiongkok mengambil kendali atas pelabuhan selatan Hambantota di Sri Lanka pada tahun 2017 dengan kontrak sewa 99 tahun setelah negara itu terjerembab dalam gagal bayar.
“Pelabuhan memiliki penggunaan ganda di hampir setiap negara — untuk penggunaan sipil dan juga untuk penggunaan militer,” kata Deputi Administrator Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) Bonnie Glick pada program American Thought Leaders The Epoch Times.
“Dan cara Tiongkok memetakan dunia, sangat strategis melihat pelabuhan paling berharga terlebih dahulu dan mendekati negara-negara tersebut.”
Hal yang sama terjadi di negara Djibouti, Afrika Timur, katanya, di mana Tiongkok membangun pelabuhan konsesi. Negara ini terletak di pintu masuk ke Laut Merah, di mana Amerika Serikat memiliki kepentingan pertahanan.
Hampir 10 persen dari ekspor minyak dunia dan 20 persen dari semua barang komersial bergerak melalui Terusan Suez, melewati dekat dengan Djibouti.
Glick berkata: “Djibouti gagal membayar pinjamannya, dan Tiongkok pada akhirnya mengendalikan operasi di pelabuhan di Djibouti.” Ia menyebutkan, BRI One Belt One Road, satu arah perjalanan ke utang yang tak terpecahkan.
Keringanan utang
Bank Dunia dan IMF sudah mendesak negara-negara G-20 termasuk Tiongkok untuk memberikan keringanan utang kepada 76 negara termiskin di dunia dan memungkinkan mereka untuk menggunakan dana untuk memerangi pandemi.
Tiongkok adalah penandatangan inisiatif penangguhan layanan utang yang disetujui oleh negara-negara G-20, yang memberikan pembekuan pembayaran utang untuk negara-negara termiskin atas permintaan. Penangguhan akan berlangsung mulai 1 Mei hingga akhir 2020.
Menurut Glick, respons awal Tiongkok terhadap Debt Forgiveness dalam penundaan kewajiban pembayaran utang adalah positif. Tetapi kemudian, mereka mulai menempatkan tentang jenis utang apa saja yang akan dipertimbangkan dimasukkan dalam Debt Forgiveness, kemudian dengan cermat mencoba agar tidak berlaku dengan utang bilateral ke Tiongkok.
Proyek-proyek konstruksi BRI yang besar dibiayai terutama melalui berbagai pemerintah daerah Tiongkok dan lembaga yang dikendalikan negara.
Pemerintahan Trump dengan keras menyuarakan terhadap ambisi Komunis tiongkok yang mencengkram pasar negara-negara berkembang. Sedangkan pandemi memperkuat kekhawatiran ini.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyampaikan kepada seluruh dunia agar sadar atas tantangan dari Partai Komunis Tiongkok.
“Tiongkok telah diperintah oleh rezim brutal, otoriter, rezim komunis, sejak 1949. Selama beberapa dekade, kami berpikir rezim akan menjadi lebih baik melalui perdagangan, pertukaran ilmiah, penjangkauan diplomatik, membiarkan mereka di WTO sebagai negara berkembang,” katanya kepada wartawan pada 20 Mei 2020.
Pompeo menambahkan: “Namun hal itu tidak terjadi. Kami sangat meremehkan sejauh mana Beijing secara ideologis dan politis memusuhi negara-negara yang bebas.” (et/asr)
0 comments