Xi Jinping tangkal kerusuhan eksternal dan kudeta internal
JIN YAN
Di saat “kasus Big Cannon Ren (Ren Zhiqiang)” yang terus memanas, dan memicu kekacauan di Zhongnanhai, polisi dari dua provinsi yakni Hubei dan Jiangxi terlibat bentrok sengit di Jembatan Jiujiang Sungai Yangtze, beberapa polisi terluka akibat dianiaya dan mobil polisi digulingkan. Kejadian ini mewujudkan ramalan pada “Catatan Prasasti Liu Bowen” yang menyebutkan: “Kekhawatiran ketiga adalah Hu dan Guang (Provinsi Hubei dan Guangdong) banyak bencana, kekhawatiran keempat adalah terjadi kerusuhan di setiap provinsi”.
Memang tepat kata peribahasa: “Satu Kota Jiujiang, setengahnya adalah warga Huangmei.” Walaupun saat ini antara Kota Huangmei dan Jiujiang kedua kota ini masing-masing menjadi yurisdiksi Provinsi Hubei dan Jiangxi, di tengahtengah dipisahkan oleh Sungai Yangtze, namun sejak dulu kala antara “Hubei Lao (kakak)” dengan “Jiangxi Laobiao (sebutan kakak terhadap pria dewasa Jiangxi)” sudah seperti saudara sendiri, bisa dikatakan hubungannya sangat erat tak terpisahkan.
Tak disangka, setelah kota dibuka kembali pasca wabah corona, pekerja migran dari Kota Huanggang, Kabupaten Huangmei, Provinsi Hubei pada 27 Maret lalu melewati Jembatan Sungai Yangtze dari Jiujiang memasuki Provinsi Jiangxi, dari situ mereka bersiap menaiki KA cepat di Stasiun KA Jiujiang untuk kembali ke daerah tempat mereka bekerja, ternyata mereka telah dihadang oleh polisi lalu lintas Jiujiang dan semua kendaraan dan warga Hubei dilarang melalui jembatan, sehingga terjadilah peristiwa bentrok kekerasan dalam skala besar.
Dari rekaman video saksi mata disebutkan, pemicu konfl ik tersebut adalah pagi itu polisi Distrik Xunyang Kota Jiujiang menggeser blokade jalan ke depan, hingga menghalangi blokade Desa Xiaochi, Kabupaten Huangmei. Polisi Huangmei mendatangi polisi Xunyang mempertanyakan hal itu namun justru dianiaya dan ditangkap oleh pihak Xunyang, maka terpiculah polisi Hubei dan warga sekitar meneriakkan slogan menyerbu ke garis kawal polisi Jiangxi, terjadilah tawuran antara kedua pihak. Pihak Jiujiang provinsi Jiangxi mengirim polisi khusus untuk membantu. Kemudian, Huanggan Provinsi Hubei juga mengirim polisi khusus dalam jumlah besar berjaga-jaga di sisi Huangmei, bersiap-siap ikut terjun dalam bentrokan. Dalam konflik itu beberapa unit kendaraan polisi digulingkan, setidaknya mengakibatkan 5 orang petugas keamanan Jiangxi dan polisi pembantu terluka dan dirawat di rumah sakit.
Untuk mencegah penyebaran virus corona wuhan (virus PKT), sejak 23 Januari lalu, Kota Wuhan mulai menutup kota. Brigade patroli khusus kantor keamanan publik Kota Xunyang Kabupaten Jiujiang mengutus 120 personel ke Jembatan Jiujiang dengan misi “menjaga satu jembatan melindungi Kota Jiujiang”. Selama bertugas, pernah terjadi beberapa kali peristiwa ancaman, intimidasi, bahkan bentrok kekerasan.
Sebenarnya, sejak wabah mulai menyebar, warga Hubei dan khususnya Wuhan hidup ibarat “dewa tulah”, “buronan” atau “tikus jalanan”, ketika berada di kota dan provinsi lain mereka diburu dan dicegat, di mana-mana mengalami diskriminasi dan dikucilkan, bahkan diusir keluar dari rumah sewa sehingga terlunta-lunta di jalanan. Baru-baru ini di media massa juga diberitakan bahwa warga imigran Hubei saat kembali bekerja di tempat kerjanya di Guizhou, Shanghai, Beijing dan kota-kota lain, mereka dihalangi dan disuruh kembali ke daerah asalnya. Peristiwa narapidana dari Penjara Wanita Wuhan yang telah selesai masa tahanannya menerobos masuk Kota Beijing di malam hari sempat pula menggemparkan.
Warganet mengatakan, “Warga Wuhan telah dikurung selama 60 hari lebih di rumah mereka, tanpa ada sumber pendapatan, kini kota telah dibuka masih dihalangi untuk kembali bekerja, tentu saja mereka kalap.” Ada komentar mengatakan, “Walaupun secara resmi Provinsi Hubei dan Jiangxi telah dibuka, tapi faktanya isolasi di kedua daerah masih terus berlanjut. Walaupun pejabat atas memerintahkan perbatasan dibuka, pejabat bawah belum tentu percaya pelaporan terkini situasi di Hubei dan Wuhan adalah benar.” Pengguna Twitter lain mengatakan, “Walaupun Beijing telah tiga kali memerintahkan agar Hubei dibuka, tidak diperbolehkan mendiskriminasi warga Hubei, tapi demi menjaga diri, pihak daerah hanya bisa mengiyakan tapi melanggarnya, walaupun pejabat tingkat satu dan dua provinsi belum tentu putra daerah, tapi pelaksana di bawah adalah orang daerah setempat, mereka selalu mempertimbangkan kepentingan daerahnya! Jangan lupa konsep teritorial antar daerah-daerah di Tiongkok tertanam sangat kuat!”
Pada 3 Februari lalu, pada rapat Komisi Politbiro PKT, Xi Jinping menekankan, “Pengendalian wabah harus dengan mempertahankan kesatuan seluruh negeri.” Komisi partai dan pemerintah berbagai tingkatan mutlak harus menaati satu komando, satu koordinasi, satu pengaturan dari pusat, harus tunduk sepenuhnya pada perintah. Setiap dinas di setiap wilayah harus meningkatkan kesadaran kepentingan bersama dan konsep keutuhan bersama, mutlak tunduk pada tim komando pekerjaan penanggulangan wabah dari pusat dan pengarahan mekanisme pencegahan dan pengendalian bersama dari Dewan Negara. Akibatnya, belum lama pernyataan Xi Jinping dilontarkan, berbagai tempat di Tiongkok terjadi pemerintah daerah justru melakukan penghadangan untuk “merampas” masker medis.
Yang terutama membuat geram adalah, pada 6 Februari lalu, pemerintah kota Jinjiang provinsi Sichuan mengirimkan sebanyak 300.000 masker medis dari Kabupaten Bazhong, dikawal dengan panser dan 30 orang polisi anti huru-hara bersenjata lengkap. Di tengah perjalanan dihadang oleh puluhan unit mobil polisi milik Dinas Keamanan Publik kota Mianyang dan dipaksa meninggalkan 200.000 masker medis sebagai upeti. Lalu polisi Mianyang yang membawa hasil rampasan itu dalam perjalanan kembali, dihadang lagi oleh pihak keamanan publik Kota Jintang.
Sebuah wabah yang berasal dari Wuhan, membuat orang Hubei berubah menjadi penjahat. Seperti yang diungkap pada sebuah komik baru-baru ini, di masa akhir Dinasti Qing, karena “membenci daerah Hubei”, pihak kekaisaran memerintahkan “menutup kota”, lalu terjadi pemberontakan Wuchang (1911) yang mengakhiri Dinasti Qing; kini di masa akhir Dinasti Merah, karena “membenci Hubei akibat wabah”, PKT memerintahkan “menutup jembatan”, akibatnya memicu kerusuhan Jiujiang antar aparat provinsi “saling bentrok”.
Semua ini menjelaskan, situasi di banyak daerah RRT telah kehilangan kendali, konfl ik antara pusat dengan daerah kian sengit, posisi inti Xi Jinping “terhormat nomor satu” pun menjadi sulit dipertahankan, dan sedang mengalami tantangan yang belum pernah ada sebelumnya. Di berbagai tempat di Tiongkok kemungkinan akan mengalami perpecahan berupa “perang antar warlord (penguasa daerah)” dan “separatisme”.
Dibandingkan kerusuhan yang terjadi antar provinsi, yang membuat Xi Jinping makan tak enak tidur pun tak nyenyak, adalah peristiwa generasi kedua kader tinggi PKT yakni Ren Zhiqiang, yang dalam sebuah artikel menyerukan kudeta menggulingkan Xi Jinping, yang sejak 12 Maret lalu telah menghilang selama hampir setengah bulan. Beberapa hari ini berbagai berita simpang siur dan membingungkan pun bermunculan.
Pertama, ada yang mengatakan Wang Qishan (mantan eksekutor Xi dalam memberantas KKN) bertekad mengundurkan diri untuk melindungi Ren Zhiqiang, Zhu Rongji (mantan PM RRT) dan Wang Yang (salah satu dari empat Wakil PM Tiongkok dalam pemerintahan PM Li Keqiang) juga tampil untuk memberikan penjelasan.
Kedua, dikabarkan Ren Zhiqiang di tempat dirinya ditahan yakni kantor pusat Komisi Kedisiplinan Kota Beijing di Mangshan distrik Changping, mulai mogok makan. Xi sendiri telah menetapkannya sebagai “kasus berat”, dan mengatakan “siapa pun tidak boleh campur tangan, tidak boleh intervensi, tidak boleh memohonkan ampun untuknya, mungkin juga termasuk Wang Qishan.” Dan Ren akan divonis setidaknya 15 tahun.
Ketiga, rumor terbaru mengatakan belasan konglomerat ternama menulis surat pada Xi Jinping, diserahkan oleh PM Li Keqiang, mengajukan 9 tuntutan. Yang lebih parah lagi adalah, lima sesepuh PKT yakni Li Ruihuan, Wen Jiabao, Li Lanqing, Hu QIli, dan Tian Jiyun juga telah menulis surat, dan peristiwa ini “ribuan kali lipat lebih serius dibandingkan surat terbuka Ren”.
Walaupun tidak bisa diketahui apakah “surat di tahun Gengzi” ini akan mengulang kembali tragedi “Gongche Shangshu” di masa Dinasti Qing, tapi “selangkah lebih awal adalah Gorbachev (mantan pimpinan Uni Soviet yang membubarkan negaranya), selangkah lebih lambat adalah CeauÈ™escu (diktator Rumania yang dijatuhkan pada Desember 1989 dan dihukum mati bersama dengan istrinya)”, mungkin akan menjadi kutukan yang selamanya tak akan terelakkan bagi para penguasa otoriter komunis. (Epochtimes/lie)
Video Terkait:
0 comments